KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Digital space pada prinsipnya adalah sebuah platform yang berfungsi mewadahi arus informasi di tengah masyarakat. Sama persis dengan fungsi platform yang lebih dahulu ada, baik cetak, radio, maupun televisi.
Platform digital memiliki sejumlah keunggulan
yang tidak dimiliki platform-platform sebelumnya. Ia nyaris tak memiliki batas
ruang dan waktu, menawarkan interaksi yang real time, mendorong desentralisasi
dan diversifikasi informasi, serta memberikan kesempatan kepada siapa saja
untuk memproduksi informasi.
Bagi perusahaan pers, karakteristik dunia
digital seperti ini menjadi peluang sekaligus tantangan. Dan terlepas dari itu,
media massa berbasis internet tetap terikat pada berbagai kewajiban yang
dicantumkan di dalam UU 40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, serta Pedoman
Pemberitaan Media Siber.
Demikian antara lain disampaikan Ketua Umum
Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa ketika menjadi pembicara
tamu dalam Safari Jurnalistik yang diselenggarakan Corporate Communication
Department FIF Group, Jumat sore (23/4). Selain Teguh Santosa, pembicara lain
dalam forum virtual ini adalah Pemimpin redaksi IDN Times, Uni Lubis.
Diskusi virtual dibuka oleh Chief of
Corporate Communication and CSR FIF Group, Yulian Warman, dan diikuti oleh 25
PIC PR kantor pusat FIF Group dan 242 PIC PR cabang FIF Group.
Dalam sesi bertema “Perkembangan Media Siber
dan Antisipasi Bagi Dunia Usaha”, Teguh menjelaskan bahwa masih banyak anggota
masyarakat yang belum bisa membedakan mana informasi di internet yang merupakan
produk pers atau karya jurnalistik, dan mana yang bukan.
Mantan anggota Dewan Kehormatan Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) itu mengatakan, sangat banyak website yang memiliki
tampilan seperti media massa berbasis internet atau media siber, tetapi tidak
dikerjakan dengan prinsip-prinsip jurnalistik, bahkan cenderung mengabaikannya.
Menurut informasi yang kerap disampaikan
Kementerian Komunikasi dan Informatika, di tahun 2017, setidaknya ada 43 ribu
website yang beroperasi. Angka ini terus bertambah, dan di tahun 2020
diperkirakan jumlahnya sudah berada di kisaran 50 ribu. Sebagian besar dari
jumlah itu bukan website yang dikelola oleh perusahaan pers.
Antisipasi Masyarakat Pers
Perkembangan dunia digital yang massif ini
mulai diantisipasi masyarakat pers nasional pada Hari Pers Nasional (HPN) 2010
di Palembang, Sumatera Selatan.
Ketika itu, belasan grup media menandatangani
Piagam Palembang yang substansi isinya adalah komitmen membangun ekosistem pers
yang sehat, dengan motor utamanya perusahaan pers yang profesional dan wartawan
yang memiliki kompetensi dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Sebagai turunan dari Piagam Palembang pada
tahun 2011 dimulai proses Uji Kompetensi Wartawan (UKW) oleh Dewan Pers, dan di
tahun 2017 Dewan Pers mulai melakukan pendataan terhadap perusahaan pers yang
profesional.
Data yang diperoleh dari website resmi Dewan
Pers menyebutkan ada lebih dari 16 ribu wartawan yang telah mengikuti UKW baik
jenjang Muda, Madya, dan Utama.
Sementara jumlah perusahaan pers yang telah
terdaftar sekitar 1.500 perusahaan pers. Dari jumlah itu, yang terverifikasi
administrasi sebanyak 565 media, dan yang terverifikasi faktual sebanyak 679
media.
Teguh Santosa mengatakan, pendirian JMSI juga
merupakan turunan dari komitmen komunitas pers menciptakan ekosistem pers yang
sehat dan profesional. Saat ini, sambungnya, JMSI yang dideklarasikan di arena
HPN 2020 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, telah berdiri di hampir semua
provinsi di Indonesia dan tengah bersiap-siap menjadi konstituen Dewan Pers.
Kiat Menghadapi “Serangan”
Dalam sesi tanya jawab, Teguh antara lain
ditanya bagaimana kiat menghadapi “serangan” berwujud berita di dunia digital
dari pihak-pihak yang ingin merusak kredibilitas.
Menjawab pertanyaan itu, Teguh mengatakan,
apabila “serangan” muncul di media massa berbasis internet, maka pihak yang
merasa dirugikan dapat meminta hak jawab dan/atau hak koreksi kepada media
bersangkutan. Bisa juga pihak yang merasa dirugikan mengadukan “serangan” ini
ke Dewan Pers.
Terhadap pengaduan itu Dewan Pers akan memberikan penilaian, apakah berita yang
diadukan tersebut memang mengandung unsur kesalahan jurnalistik, atau tidak.
Kalau berita yang diadukan itu dinilai
mengandung unsur kesalahan jurnalistik, maka dalam penilaiannya Dewan Pers akan
meminta media bersangkutan untuk memberikan hak jawab dan/atau hak koreksi.
Bisa juga meminta penayangan pernyataan maaf dan/atau pencabutan berita.
Sementara,
bila yang memproduksi “serangan” berwujud berita itu ternyata bukan media massa
berbasis internet, maka bisa saja pihak yang terganggu menempuh jalur hukum
memanfaatkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau KUHP.
Bagaimana bila “serangan” itu berasal dari
media sosial yang sama-sama menggunakan platform digital?
Menjawab pertanyaann ini, menurut hemat Teguh
Santosa yang juga dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
Jakarta, sebaiknya respon terhadap informasi yang dianggap sebagai “serangan”
disampaikan melalui media massa berbasis internet atau media siber yang
kredibel, yang telah terdaftar dan terverifikasi oleh Dewan Pers.
Teguh tidak menyarankan pihak yang merasa
dirugikan oleh “serangan” itu memberikan respon di media sosial yang
menerbitkan “serangan” atau di website berita yang tidak kredibel.
“Sampaikan respon di media yang kredibel,
yang terdaftar di Dewan Pers. Dengan sendirinya, kredibilitas respon juga
menjadi tinggi. Untuk mengetahui website berita yang kredibel mudah, bisa
dicari di website Dewan Pers. Mereka tidak hanya berada di Jakarta, tapi juga
tersebar di seluruh Indonesia,” demikian Teguh Santosa. [tim liputan].
Editor : Aan