![]() |
Jejak Mayor Kwee Hoe Toan Di Parit Mayor |
KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) - Sejak masa awal VOC, Belanda telah berhubungan dengan para penduduk Tionghoa di Hindia dengan menunjuk para opsir Tionghoa sebagai para perantara, yang dimulai dengan kapitan-kapitan Tionghoa pertama di Batavia.
Belanda juga menerapkan sistem yang sama
ketika mereka tiba di Borneo Barat. Orang Eropa yang mampu berbahasa Tionghoa
baru tersedia dalam birokrasi pada paruh kedua abad ke 19, sehingga komunikasi
antara orang Belanda dan orang Tionghoa sebelum masa itu dilakukan dengan
bantuan para juru tulis dan penerjemah Tionghoa atau para opsir Tionghoa yang
bisa berbahasa Melayu.
Salah seorang di antaranya ialah Lim A Moy,
seorang penerjemah untuk Sambas, yang telah melayani pemerintah selama dua
puluh tahun sebelum dipensiunkan pada 1856. (Laporan Administrasi, 1856, ANRI
BW 3/12)
Di Pontianak pada abad ke 19, para opsir
Tionghoa ditunjuk dan bekerja sebagai perantara antara pemerintah Hindia Timur
Belanda dengan minoritas Tionghoa, seperti halnya juga di daerah Jawa.
Hanya sedikit yang diketahui tentang para
opsir itu sebelum 1838 (Heidhues, 2008: 178), walaupun keberadaan mereka tidak
dipungkiri.
Pada tahun itu, tiga orang kapitan Tionghoa
untuk Pontianak dimasukkan dalam daftar pejabat: Hong Tjin Nie (kapitan besar
atau kapthai), Lim Nie Po (kapitan tommonggong atau temenggung dalam pengertian
jabatan Melayu), dan Kwee Hoe Toan (kapitan salewatan atau salawatang, maknanya
tidak diketahui).
Hong Tjin Nie, sang kapthai, berasal dari
komunitas yang terbesar, yaitu Teochiu. (Laporan Politik 1856, ANRI BW 1/7:
Tidak ada tradisi memisahkan para petugas berdasarkan kelompok perbedaan bahasa
di Jawa, di mana orang Hokkien mendominasi hingga abad ke 20).
Seorang yang tipikal sebagai opsir sukses di
zaman itu adalah Kwee Hoe Toan.
Orang Tionghoa Hokkien ini, pada 1838 telah
berpangkat sebagai kapitan, naik menjadi kapitan besar pada 1845 dan akhirnya
dipromosikan menjadi majoor pada 1859.
Meski orang Hokkien adalah kelompok terkecil
dari tiga kelompok besar di Pontianak, Kwee diangkat sebagai perwakilan dari
semua kelompok, hal ini mungkin disebabkan karena ia nampak lebih cocok dengan
para pejabat kolonial yang telah terbiasa dengan orang Hokkien di Jawa.
Kwee jugalah yang memberi saran-saran pada
pemerintah selama melakukan perundingan dengan Thaikong.
Dia merupakan salah seorang Tionghoa terkaya
di Borneo (Konferensi Orang Tionghoa di Pontianak, 1852-53. Kwee dan Kapitan
Lay A Tjhok (atau A Tjhioh) adalah pengamat saat terjadi negosiasi dengan para
perwakilan kongsi pada Desember 1852 dan Januari 1853) (ANRI BW 31/8—87).
Pada 1856 dia menjadi penjamin pacht candu,
sebelumnya ia sendiri adalah pemegang pacht itu.
Belanda menganggapnya dapat dipercaya dan
diandalkan, namun rakus. Dia merupakan orang terpelajar. Sekalipun lahir dan
dibesarkan di Borneo, dia bisa membaca, menulis dan berbicara berbagai bahasa
Tionghoa yang berbeda.
Overste Le Bron de Vaxela, yang memimpin
perang melawan Monterado, menahan Kwee 1851 dan memenjarakannya selama dua
bulan karena dia telah mengirimkan candu ke Sungai Pinyuh dan Mempawah.
Penangkapannya tidak berdasarkan hukum, sebab
Kwee sebagai pachter candu, melakukannya secara sah.
Namun meski telah diperlakukan tidak adil
oleh pemerintah dan kehilangan banyak harta selama ditangkap, Kwee tetap
menjalankan tanggung jawabnya sebagai majoor hingga 1862 (Heidhues, 2008: 179).
Tahun berikutnya, putra Kwee yang bernama
Kwee Kom Beng, muncul dalam catatan menjadi kapitan dan berkantor sampai
diberhentikan pada 1880.
Kwee muda berulang kali disebut lebih Melayu
daripada Tionghoa, sesuatu yang tidak merupakan kualifikasi untuk menjadi opsir
Tionghoa, dan ia dikenal sangat dekat dengan istana Pontianak (Laporan Politik
1866, ANRI BW 2/4—224).
Keluarga Kwee akhirnya mengalami kejatuhan
pada masa-masa sulit.
Kwee Hoe Toan dan seorang kapitan Hakka, Then
Sioe Lin, terlilit hutang pada pemerintah kolonial Belanda sebagai akibat dari
keterlibatan mereka dalam pacht candu pada 1850-an, suatu dekade ketika
perdagangan madat hancur lebur akibat penyelundupan dan kemerosotan dalam
penambangan emas.
Nasib keluarga ini semakin terpuruk pada
1880, ketika Kwee Kom Beng diberhentikan dari jabatannya.
Situasi keuangan Lioe A Sin, sang kapthai
Lanfang, juga mengalami kemunduran karena berspekulasi dalam pacht candu.
(Laporan Politik 1859, ANRI BW 1/10).
Kesempatan bagi orang Tionghoa untuk meraup
peruntungan besar dan mungkin pengaruh dari perdagangan candu nampaknya semakin
berkurang karena monopoli tersebut mengalami kemunduran pada paruh kedua abad
ke 19.
Mengenang masa keemasannya, Kwee Hoe Toan
kini meninggalkan jejak silam dan dikenang keberadaannya dengan Kampung Parit
Mayor tempat di mana sang mayor ini dipusarakan di sana.
(Dari berbagai referensi)
Penulis
Syafaruddin Dg Usman, peminat sejarah kontemporer di Pontianak)*