Ketua Umum JMSI, Teguh Santosa |
Wartawan senior dan Ketua Umum Jaringan Media
Siber Indonesia (JMSI), Teguh Santosa, menggarisbawahi sejumlah hal terkait
dengan kunjungan tersebut.
Pertama, Amerika Serikat menghormati kredo
politik luar negeri bebas aktif Indonesia. Mengunjungi Indonesia di saat
Amerika Serikat sedang berhadap-hadapan dengan kekuatan lain di kawasan, yakni
Republik Rakyat China, tidak terlalu elok untuk dilakukan.
“Amerika Serikat menghormati kredo politik
luar negeri kita yang diakui seluruh dunia, yakni bebas aktif,” ujar dosen
Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
Jakarta, itu, dalam dialog Indonesia Satu News yang dipandu Bursah Zarnubi,
hari Selasa lalu (31/8).
Pembicara lain dalam diskusi itu adalah
Managing Director Political Economy and Policy Studies, Prof Anthony Budiawan.
Kedua, kunjungan ke Asia Tenggara dilakukan
Wapres Harris di tengah situasi panas di Laut China Selatan. Dengan demikian,
Teguh mengatakan, dirinya dapat memahami bila Wapres Harris lebih memilih
Vietnam.
“Karena Vietnam adalah salah satu negara
claimant (yang mengklaim perairan) di Laut China Selatan. Indonesia bukan
negara claimant,” sambungnya.
Ketiga, menurut Teguh, kunjungan ke Vietnam
itu juga dimaksudkan Amerika Serikat untuk memperlihatkan kepada masyarakat
dunia bahwa negara itu bisa memiliki hubungan baik dengan negara lain yang di
masa lalu pernah berperang dengan mereka.
Sinyal ini penting diperlihatkan setelah
Amerika Serikat memutuskan meninggalkan Afghanistan baru-baru ini.
Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, Teguh
kerap mengatakan, keputusan Presiden Joe Biden meninggalkan Afghanistan bukan
bentuk kekalahan. Biden menurutnya sedang berusaha memperbaiki reputasi AS yang
rusak terutama di era Donald Trump.
Tidak Bergantung pada China
Di sisi lain, menurut Teguh, Amerika Serikat
tidak terganggu dengan hubungan yang cukup baik antara Indonesia dengan China
terutama di sektor ekonomi. Maka ini pun bukan alasan mengapa Kamala Harris tak
singgah di Indonesia.
Amerika Serikat, sebutnya, tahu pasti bahwa
Indonesia memiliki kepentingan pragmatis yang hari-hari ini hanya dapat
dipenuhi dengan kerjasama dengan China. Dan itu tidak berarti Indonesia
bergantung pada China.
Dia mencontohkan peta baru NKRI yang diumumkan
di tahun 2017 lalu. Di dalam peta baru NKRI itu Indonesia memberikan nama baru
untuk perairan di utara Pulau Natuna yang telah sah menjadi milik Indonesia.
Namanya Laut Natuna Utara.
Pemerintah China sempat marah dan meminta
nama itu dihapus. Tetapi sampai sekarang Indonesia tidak memenuhi permintaan
itu.
“Saat ini Indonesia secara ekonomi terlihat
membutuhkan China. Tetap secara politik, Indonesia tidak ke China juga,"
tegas Teguh yang pernah menjadi Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) dan kini sedang menyelesaikan studi doktoral di Jurusan
Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad) ini.
Oleh karena itu, Teguh juga mengatakan,
daripada sibuk memikirkan apakah keputusan Kamala Harris tidak mengunjungi
Indonesia adalah ancaman atas kedekatan dengan China, Indonesia lebih baik
menyelesaikan pekerjaan rumah yang penting untuk meningkatkan nilai tawar di
dalam pergaulan internasional.
Misalnya dengan sungguh-sungguh membangun
sektor industri dalam negeri, sehingga Indonesia tidak hanya menjadi bangsa
yang menadahkan tangan, tetapi juga memiliki pengaruh lewat produk-produk yang
dijual setidaknya ke negara kawasan.
Berpotensi Disalip Vietnam
Sementara Managing Director Political Economy
and Policy Studies, Prof. Anthony Budiawan, memperkirakan Indonesia akan
disalip oleh negara tetangga dalam hal pendapatan ekonomi.
"Vietnam baru membuka (membangun)
ekonominya tahun 1986. Menurut perkiraan saya, tidak lama lagi pendapatan
perkapita Vietnam akan melewati Indonesia," kata Prof. Anthony.
Prof. Anthony memaparkan, pendapatan
perkapita Vietnam saat ini memang masih di bawah 3 ribu dolar AS. Angka ini
masih di bawah Indonesia yang memiliki pendapatan perkapita 3.850 dolar AS.
Kemungkinan Indonesia disalip Vietnam bukan
isapan jempol. Hal tersebut antara lain merujuk pada manajemen hubungan Vietnam
dengan negara besar seperti Amerika Serikat dan China.
“Inilah hebatnya Vietnam, dia bisa maintan
ekonomi dengan China dan AS. Ini sangat menarik. Kenapa Vietnam bisa memainkan
peran begitu? Peran negara nonblok yang dulu dipegang Indonesia justru diambil
alih oleh Vietnam," tegasnya.
Berkat manajemen hubungan internasional yang
baik dengan AS dan China, ekonomi Vietnam lebih baik dari Indonesia.
"Perdagangan Vietnam dan China lebih
besar dari Indonesia-China, Begitu pun dengan AS, surplusnya bisa sampai 63
miliar dolar AS. Kita (Indonesia) cuma 10 miliar dolar AS tahun 2020,"
lanjutnya.
"Jadi perjalanan ekonomi Indonesia dari
tahun 1970-an sudah ketinggalan dari Thailand, Malaysia, Singapura, dan
sekarang Vietnam," tandasnya. [Sumber : Jaringan Media Siber Indonesia].
Editor : Aan