Pengamat Politik dari FISIP UntanPontianak, DR Jumadi |
KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) - Pengamat Politik dari FISIP Universitas Tanjungpura Pontianak, DR Jumadi, menegaskan jika saat ini adalah momentum tepat untuk memperkuat posisi kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPD RI).
Hal itu disampaikannya saat menjadi pemateri
pada Focus Group Discussion Amandemen ke-5 UUD 1945: Penghapusan Ambang Batas
Pencalonan Presiden dan Membuka Peluang Calon Presiden Perseorangan, di
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Rabu (27/10/2021).
Menurut Jumadi, dari hasil empat kali
amandemen yang sudah dilakukan, sistem ketatanegaraan Indonesia lebih mengarah
pada parlementarian ketimbang presidensial.
"Dalam banyak kasus di negara-negara
yang mengombinasi sistem presidensial dengan multipartai, itu pasti menjadi
masalah. Kita juga mengalami itu. Lalu apa masalahnya? Masalahnya adalah
Presidential Threshold (PT) atau ambang batas pencalonan Presiden," ujar Dr
Jumadi.
Untuk itu, Jumadi menilai penting kiranya
bagi kita untuk meninjau kembali Presidential Treshold. Dan, dalam konteks
itulah menurutnya wacana Amandemen ke-5 Konstitusi penting untuk digulirkan.
Ia percaya calon Presiden perseorangan dapat
diimplementasikan dengan baik.
"Buktinya praktik elektoral di tingkat
lokal tidak menimbulkan masalah. Apakah kita pernah dengar ketika calon
independen terpilih lalu hal itu jadi masalah? Kan tidak. Jadi, Presidential
Trehsold ini memang sudah sepatutnya dikoreksi," kata dia.
Senator asal Aceh, Fachrul Razi, yang menjadi
narasumber pada acara itu, menyampaikan UUD 1945 tidak kedap dari pengaruh
kondisi dan situasi ketatanegaraan serta kebutuhan masyarakat saat itu.
"Pembentuk UUD 1945 membuka kemungkinan
dilakukannya perubahan konstitusi ketika kondisi ketatanegaraan menghendakinya,
sebagaimana diatur dalam pasal 37 UUD 1945," kata Fachrul Razi.
Menurut dia, amandemen yang hendak dilakukan
harus tetap berpedoman pada politik hukum yang dijadikan sebagai penuntun arah
perubahan.
"Ada empat agenda prioritas yakni
revitalisasi pokok-pokok haluan negara, penataan kewenangan MPR RI, penataan
kewenangan DPD RI dan penataan sistem presidensial," tuturnya.
Agenda lainnya menurut Fachrul Razi adalah
penataan kekuasaan kehakiman, penataan sistem hukum dan peraturan
perundang-undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum.
Dikatakannya, penguatan DPD RI itu
dimaksudkan sebagai penyeimbang. Apalagi, sistem presidensial yang kita anut
saat ini, namun dalam praktiknya setengah presidensial, setengah
parlementarian.
"Kami mencoba mengembalikan proses
demokratisasi sebagaimana sumbernya yakni Pancasila. Begitu juga dengan
ekonomi, katanya ekonomi Pancasila tapi praktiknya kapitalistik," papar
dia.
Senator asal Lampung, Bustami Zainuddin,
menjelaskan, ada dua hal penting yang menjadi sorotan yakni penguatan
kelembagaan DPD RI dan ambang batas pencalonan presiden.
Dijelaskannya, penataan kewenangan DPD RI
amat dimungkinkan, mengingat individu yang tergabung di dalamnya adalah murni
keterwakilan rakyat di daerah.
"Kami ini dipilih langsung oleh
masyarakat di daerah. Maka dari itu, penting kiranya kita bicara Amandemen ke-5
Konstitusi sebagai koreksi atas arah perjalanan bangsa," ujar Bustami.
Dalam sambutannya saat membuka acara, Ketua
DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai bahwa Presidential Threshold
terbaik adalah 0 persen. Sehingga semua partai peserta pemilu dapat mengusulkan
pasangan capres dan cawapres.
Dengan banyaknya kandidat tentu saja semakin
besar peluang menghasilkan pemimpin berkualitas.
“Saya mengajak insan kampus untuk memantik
diskusi konstitusi agar pada akhirnya pemerintah dan DPR RI serius membahas dan
menakar Presidential Threshold secara rasional. Nah daripada menunggu
pembahasan itu, DPD memilih gerak cepat dengan safari konstitusi di beberapa
kampus di Indonesia. Agar rakyat tidak dihadapkan pada dua pilihan sehingga
demokrasi semakin sehat,” katanya.
LaNyalla menegaskan presidential threshold
atau ambang batas pencalonan presiden tidak ada dalam konstitusi. Yang ada
adalah ambang batas keterpilihan presiden.
“Beberapa waktu lalu saya membuka FGD di
kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dari tiga narasumber dalam FGD itu,
semuanya mengatakan dalam konstitusi yang ada adalah ambang batas keterpilihan,
bukan ambang batas pencalonan,” katanya.
Hadir pada kesempatan itu sejumlah Senator di
antaranya Fachrul Razi (Aceh), Bustami Zainuddin (Lampung), Andi Muhammad Ihsan
(Sulsel), Erlinawati Nasir dan Sukiryanto (Kalbar).
Hadir pula sejumlah universitas di Kalimantan
Barat di antaranya IKIP PGRI Pontianak, Universitas Tanjungpura, IAIS Sultan
Muhammad Syafiuddin Sambas, Bupati Sambas, Ketua DPRD Sambas, Forkopimda dan
sejumlah tamu undangan lainnya.(Tim liputan*).
Editor : Aan