KALBARNEWS.CO.ID (DENPASAR) - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)
melalui Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik menyosialisasikan
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada masyarakat dan
akademisi di Provinsi Bali. Jumat (2 Desember 2022).Kemenkominfo Sosialisasikan RUU KUHP Ke Masyarakat Dan Akademisi Bali
Direktur Informasi Komunikasi Polhukam
Kemenkominfo Bambang Gunawan dalam keterangan tertulisnya di Denpasar, Jumat,
mengatakan perwujudan negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan
sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis
melalui upaya pembangunan hukum.
"Salah satu proses yang sedang dilakukan oleh
pemerintah terkait hukum pidana adalah dengan merevisi RUU KUHP," ujarnya.
Kemenkominfo bekerja sama dengan Universitas
Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar pada 1 Desember 2022 melaksanakan
sosialisasi RKUHP untuk meningkatkan pemahaman guna memperoleh dukungan publik
yang lebih luas.
"Upaya pemerintah merevisi dan menyusun
sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan
KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda perlu
segera dilakukan, sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat," ucapnya.
Pemerintah mulai merancang RKUHP sejak tahun 1964
untuk menggantikan KUHP yang berlaku sampai saat ini. Penyusunan RUU KUHP juga
melibatkan partisipasi masyarakat melalui dialog publik dan sosialisasi.
Lewat dialog publik yang telah berjalan di 11
titik di Indonesia, pemerintah menghimpun masukan dan melakukan penyesuaian
sehingga menghasilkan draf terbaru RUU KUHP. Pada tanggal 9 November 2022, draf
tersebut telah diserahkan ke Komisi III DPR RI, dan 24 November telah
disepakati bersama dalam pembahasan tingkat I.
"Yang dilakukan pemerintah sudah sangat
transparan dan demokratis melibatkan masyarakat. Jadi tidak ada maksud-maksud
pemerintah untuk tidak melibatkan masyarakat ataupun terburu-buru
disahkan," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Studi Universitas
Pendidikan Nasional AAA Ngurah Tini Rusmini Gorda mengatakan RUU KUHP merupakan
produk hukum yang diinisiasi oleh anak bangsa. Menurutnya, RUU KUHP yang telah
disusun selama 76 tahun ini sudah diidam-idamkan kehadirannya.
Untuk itu, ia berharap kegiatan Sosialisasi RUU
KUHP ini bisa menjadi wadah diskusi. Walaupun menurutnya, di tahap sosialisasi
ini belum bisa 100 persen mengubah, paling tidak ada hal yang bisa diakomodasi
melalui kegiatan ini.
"Saya harap kegiatan ini bisa mengakomodir di
tanggal 15 nanti, agar di tahun 2023 kita sudah memiliki KUHP produk
Indonesia," ujarnya.
Mengawali sesi sosialisasi, Guru Besar Hukum
Pidana Universitas Jember Arief Amrullah mengatakan bahwa pentingnya
penggantian KUHP ini karena secara politis, dengan kita masih menggunakan KUHP
yang ada sekarang, artinya kita masih dalam konteks terjajah oleh Belanda.
"Secara sosiologis juga berbeda muatan
masyarakatnya antara Belanda dengan kita, berbeda sekali, ukurannya saja sudah
beda. Lalu secara kontekstual juga begitu, KUHP Indonesia harus sesuai dengan
nilai-nilai bangsa kita. Inilah salah satu keunggulan dari RUU KUHP yang
mengadopsi nilai-nilai bangsanya sendiri,” jelasnya.
Ia mengungkapkan bahwa RUU KUHP yang sebentar lagi
disahkan, akan menjadi konstitusinya hukum pidana. Menurutnya, materi muatan
hukum pidana nasional ada keseimbangan antara kepentingan umum dan individu.
"KUHP yang sekarang ini lebih menekankan pada
individu, kepada sisi pelaku saja, bagaimana sisi korban? Ini kan tidak
diperhatikan, dan memang tidak ada. Nah, inilah yang direvisi di dalam RUU KUHP
ini, jadi ada keseimbangan itu," ujar Arief.
Selain itu, ia mengatakan bahwa RUU KUHP juga
memiliki muatan keseimbangan antara unsur perbuatan dan sikap batin.
Menurutnya, segala perbuatan harus tergantung pada niatnya.
Pada sesi selanjutnya, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pendidikan Nasional, I Nyoman Juwita Arsawati, mengungkapkan jika
salah satu alasan KUHP dipandang perlu untuk diperbaharui adalah karena
banyaknya undang-undang yang lahir di luar KUHP.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa KUHP itu
sendiri sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat terkait dengan
kualitas dan kuantitas kejahatan yang terjadi di masyarakat," ucapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa sistem pemidanaan yang
ada di dalam RUU KUHP menganut "double-track system" yang artinya di
dalam RUU KUHP ada penjatuhan sanksi pidana berupa tindakan, seperti kerja
sosial, rehabilitasi, pengawasan dan lain sebagainya.
Berbeda dengan KUHP peninggalan kolonial yang
menganut single-track system, di mana hanya ada satu pidana saja.
"Ada perbedaan di dalam RUU KUHP, jenis
pidananya ada tiga yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang
bersifat khusus atau tindakan. Pidana yang bersifat khusus inilah yang akan
diatur secara tersendiri,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana
Universitas Diponegoro, Pujiyono mengatakan bahwa ketika membaca RUU KUHP, ada
dua asas legalitas, yaitu asas legalitas formil dan asas legalitas materiil.
Ia menambahkan sangat tidak memadai ketika
perbuatan yang disebut sebagai tindak pidana hanya apa yang disebut di dalam UU.
"Realitasnya, yang disebut sebagai tindak
pidana di tengah masyarakat masih sangat banyak, yang kemudian hidup berkembang
di masyarakat adat yang disebut dengan the living law. Maka munculnya asas
legalitas formil dan materiil, tidak lepas dari asas keseimbangan yang dianut
di dalam RUU KUHP," katanya. (Tim liputan)
Editor : Aan