KALBARNEWS.CO.ID
(KEDIRI) - Puluhan peserta dari berbagai latar belakang mengikuti
kegiatan Simposium Sastra Pesantren 2022 yang digelar di Pondok Pesantren
Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Senin (5 Desember 2022).Puluhan Peserta Ikuti Simposium Sastra Pesantren Di Tebuireng-Kediri
Akhmad Taufiq, salah seorang panitia mengatakan
kegiatan simposium ini merupakan salah satu pembahasan menarik di tengah
kejumudan wacana sastra mutakhir.
"Tentu ini, menjadi penanda kultural yang
baik, sekaligus memberikan ruang baru dinamika sastra, khususnya sastra
pesantren di Tanah Air," katanya dalam rilis yang diterima pada Minggu
(4/12) malam.
Ia mengatakan Simposium Sastra Pesantren 2022 ini
mengambil tema "Merumuskan ulang sastra pesantren" dan digelar di
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Kabupaten Jombang.
Ia mengatakan, dalam simposium itu dapat
dirumuskan rambu-rambu gagasan dan pemikiran, serta gerakan sastra pesantren,
yakni sastra pesantren lahir dari kebutuhan budaya sehingga keberadaannya
selalu terikat kemanusiaan dan peradaban ugahari, yang dapat diperlakukan
sebagai kode-kode multidimensional minimal empat kode, yaitu kode bahasa, kode
sastra, kode budaya, dan kode spiritual.
Kedua, secara definitif dan konstitutif, sastra
pesantren selalu memiliki dinamika sendiri dalam satuan ruang dan waktu,
sehingga formulasi sastra pesantren tidak membeku dalam satuan zaman dan satuan
ruang.
Terdapat hal yang tetap dan berubah dalam
perkembangan sastra pesantren. Sastra pesantren lama terkait dengan hal-ihwal
yang terdapat di sekitar dunia pesantren. Sastra pesantren baru tidak dapat
dilepaskan dengan perkembangan ke masa-silam , kekinian dan ke masa depan
dengan adanya aksentuasi-aksentuasi baru.
"Oleh karena itu, secara holistik, sastra
pesantren bersumber dari tradisi sastra lisan, sastra tulis manuskrip, sastra
tulis cetak, dan sastra digital," kata dia.
Ketiga, sastra pesantren lahir dari imperatif
sejarah kemanusiaan dan peradaban. Oleh karena itu, sastra pesantren hadir
secara organik tumbuh dan berkembang dalam lapangan diskursif dan aksional seiring dengan perkembangan pengetahuan, relasi
kekuasaan dan dinamika zaman.
Keempat, secara historis, sastra pesantren
melintasi batasan-batasan literer dan kultural sehingga sastra pesantren
bercorak intergenerasional, interkultural, dan interseksional.
Sebab itu, kata dia, eksistensi, posisi, dan
status serta perkembangannya tidak dapat dikotak-kotakan dalam satuan bentuk
dan fungsi. Di sinilah corak dan ragam sastra pesantren sering hadir secara
bersama-sama dan berkesinambungan dalam keserentakan waktu, walaupun berbeda
ruang geografis dan geokultural.
Kelima, untuk ciri penanda distingtif sastra
pesantren terletak pada lintas bahasa, ideologi, spirit, elan vital, ruh atau
jiwa kepesantrenan yang menekankan tafaquh, syiar, juga ekspresi. Kesadaran
diri itulah yang membuat sastra pesantren bergerak dan berkembang sehingga
sastra pesantren bercorak integratif sekaligus instrumental antara yang indah,
berfaedah dan kamal.
Keenam, sastra pesantren mengandung dimensi
dakwah, keislaman, sufistik dan bentuk spiritualisme lain yang dikerangkai oleh
sosio-kultur dan religiokultur Indonesia dengan visi menuju manusia sempurna
dan rahmatan lil'alamin.
Ketujuh, secara genealogis, sastra pesantren
berakar dari tradisi manapun yang mengusung rahmatan lil 'alamin dan
kemanusiaan, misalnya Jawa, Melayu, Parsi, dan Arab. Oleh karena itu, sastra
pesantren sudah eksis sejak awal kehadiran Islam di Indonesia.
"Jejaring itulah yang membentuk sastra
pesantren dengan mengelaborasi beberapa bentuk dan penciptaan yang pernah
berkembang lebih dulu," kata dia.
Kedelapan, secara ringkas dan padat, sastra
pesantren adalah sastra tentang hal-ihwal pesantren dan kepesantrenan, oleh
sastrawan/penulis santri, dan untuk semesta.
Kesembilan, dalam aspek politik kebudayaan, sastra
pesantren punya peluang untuk mengembangkan jejaring kultural dalam
lintas-batas sastra nasional.
"Oleh karena itu, dalam konteks kekinian,
membangun jejaring sekaligus penguatan generasi yang mampu mengembangkan sastra
pesantren dalam lintas-batas sastra nasional adalah sebuah kebutuhan,"
kata dia.
Acara tersebut dihadiri oleh 12 narasumber aktif
dan 30 peserta aktif, mulai dari kalangan pondok pesantren, perguruan tinggi,
sastrawan, komunitas, dan lainnya. Telah selesai dibicarakan empat topik
sebagai berikut, pertama definisi, batasan, dan kandungan sastra pesantren,
kedua filsafat, daya gerak dan kesadaran diri sastra pesantren.
Ketiga adalah tradisi, antropologi dan genealogi
sastra pesantren, keempat adalah peran ulama, sejarah, dan strategi kebudayaan
sastra pesantren. (Tim liputan)
Editor : Aan