KALBARNEWS.CO.ID (SINGKAWANG) - Sering kali orang bertanya mengenai bagaimana suasana
perayaan tahun baru di suatu kota. Pertanyaan serupa kembali muncul ketika tiba
tahun baru dalam penanggalan Imlek yang ditulis sebagai tahun 2574 Kongzili.
Senin (23 Januari 2023).Melihat Perayaan Imlek di Kota Seribu Kelenteng
Kota Singkawang di Kalimantan Barat menjadi kota
yang selalu menimbulkan rasa penasaran jika dikaitkan dengan perayaan tahun
baru berdasarkan penanggalan dengan melihat peredaran bulan ini.
Kota Singkawang berjarak sekitar 145 kilometer
dari Kota Pontianak. Penduduk kota ini mencapai 235.064 jiwa menurut data BPS
tahun 2020. Sekitar 35-40 persen penduduknya etnis Tionghoa (masih angka
taksiran).
Meski belum ada angka pasti mengenai jumlah warga
Tionghoa di sana, tetapi melihat warga yang berseliweran mulai dari gerbang
kota hingga pusat kota, dan di kampung-kampungnya, bisa disimpulkan
(sementara) bahwa penduduk Tionghoa cukup dominan di sana.
Kota Singkawang merupakan kota berjuluk "Kota
Seribu Kelenteng". Lazimnya setiap perayaan tahun baru, Imlek
disambut masyarakat dengan penuh suka cita. Tetapi uniknya, ketika tahun
baru Imlek, warga etnis Tionghoa akan merias rumah dan kota tempat tinggalnya
dengan hiasan dan ornamen berwarna-warni.
Hiasan yang selalu ada berupa lampion, patung
hewan, dan tanaman/pohon tiruan. Warna yang mendominasi adalah merah, kuning
(emas), oranye, dan pink (merah muda). Warna yang mengandung arti
semangat, keberuntungan, dan kemakmuran.
Merah ditampilkan dari lampion yang menggantung di
teras-teras rumah, jalan besar atau jalan raya, hingga jalan di gang dan
kampung setempat. Kuning atau emas dan juga putih ditampilkan pada patung, dan
kali ini disebut sebagai Tahun Shio Kelinci Air. Maka patung kelinci berwarna
emas dan putih menghiasi banyak tempat di dalam kota itu.
Kemudian, warna oranye dari sinar lampu pada
hiasan gantung. Sedangkan pohon atau tanaman tiruan yang dipajang adalah
tanaman Mei (Mei Hwa) yang bunganya berwarna merah muda. Mei Hwa memiliki
simbol harapan.
Masyarakat Tionghoa Singkawang menghiasi rumah
dengan warna-warna itu. Pemerintah kota menggerakkan instansi setempat untuk
merias gedung kantor dengan hiasan dan warna yang senada.
Selain hiasan dan ornamen, warga melaksanakan
tradisi leluhur yakni mendatangi kelenteng pada sehari sebelum tiba tahun baru.
Mereka sembahyang sambil membawa makanan seperti ayam, daging (babi), buah
(jeruk), dan kue keranjang.
"Namanya sembahyang ayam. Ini dilaksanakan
pagi hari sebelum tiba tahun baru," kata Pengurus Yayasan Vihara Tri
Dharma Bumi Raya, Thjai Kun Bui atau Pak Abui.
Tiap-tiap warga datang ke vihara membawa persembahan.
Setelah sembahyang, ayam dan daging dibawa pulang untuk dimakan bersama
keluarga. Sedangkan kue keranjang dan buah tetap ditaruh di meja persembahan
kelenteng.
Setelah sembahyang ayam, keluarga melanjutkan
aktivitas berkemas dan masak-masak. Memasak ini untuk persiapan makan besar.
Makan besar diadakan siang hingga malam hari sebelum tahun baru tiba.
Jadwal makan besar disesuaikan dengan kesiapan
antarkeluarga, bisa siang, sore, ataupun malam hari. Makan bersama diadakan di
rumah orang tua. Jika dalam satu keluarga inti (terdiri dari ayah, ibu dan
anak-anak) masih ada orang tua (kakek dan nenek), maka makan besar diadakan di
rumah kakek dan nenek.
Jika sudah tidak ada kakek-nenek, makan besar
diadakan di rumah keluarga inti tersebut. Saat makan besar inilah semua
keluarga dapat berkumpul. "Anak saya makan di rumah saya saat makan
besar," kata Pak Abui.
Saat makan besar ada pembagian angpao (uang dalam
amplop merah).
Kakek dan nenek memberikan angpao kepada
cucu-cucunya. Ayah dan ibu memberi angpao kepada anak-anaknya (yang masih
kecil). Jika ayah dan ibu masih memiliki orang tua, maka harus memberi angpao
kepada orang tuanya.
Setelah makan besar, umat Konghucu akan pergi ke
pekong (thai pakkung) untuk melakukan ritual sembahyang Imlek dengan membakar
setanggi. Mereka sembahyang di pekong leluhur masing-masing, ada yang letaknya
di pedalaman dan dekat dengan laut.
Warga beragama Budha sembahyang di vihara atau
kelenteng umum. Salah satunya vihara Tri Dharma Bumi Raya yang usianya sekitar
144 tahun, di pusat Kota Singkawang. Warga yang sembahyang di sini ramai
mulai pukul 20.00 WIB hingga dini hari tanggal 1 Imlek.
Suasana paling ramai saat pukul 24.00 WIB atau
tepat tanggal 1 Imlek. Kemudian berlanjut hingga pukul 02.00 WIB hingga 04.00
WIB.
Selain itu, sejak tahun ini juga ada vihara besar
yakni Vihara Sui Kheu Thai Pak Kung. Vihara ini diresmikan pada 22 Oktober
2022. Letaknya di Jalan Sanggau Kulor, Roban, Kecamatan Singkawang Tengah.
Vihara dibangun selama 11 tahun dan pembangunan sempat terhenti saat pandemi.
Setelah diresmikan, ribuan orang berkunjung ke
sana. Selain berdoa atau sembahyang, juga ada masyarakat umum datang untuk
berfoto dan memotret bangunan megah vihara ini.
Seorang pengunjung, Felix, menyatakan
sengaja datang untuk sembahyang imlek walaupun juga sudah sembahyang di
kelenteng kampung halamannya di Pemangkat, Kabupaten Sambas.
Pria ini 22 tahun menetap di Yogyakarta. Dia
pulang kampung melihat orang tua sekaligus merayakan Imlek. Dia jalan-jalan
bersama kedua orang tuanya dan mampir ke vihara megah itu untuk berdoa.
Sedangkan untuk warga Tionghoa yang memeluk agama
Kristen (Katolik dan Protestan) melakukan ibadah di gereja. Salah satunya di
Gereja Santo Fransiskus Assisi di Jalan Diponegoro, Pasiran, Singkawang Barat.
Gereja ini ramai dikunjungi warga Tionghoa untuk sembahyang Imlek pada hari
Minggu (22/1).
Kelinci Air
Malam tahun baru Imlek 2574 Kongzili tiba pada
Sabtu (21/1) tengah malam. Pesta penyambutan ditandai dengan nyala kembang api
di teras depan vihara Tri Dharma Bumi Raya. Kembang api dandelion dinyalakan
pada pukul 20.30 WIB. Cara menyalakannya dengan membakar bagian sudut kotak
pembungkus.
Pembakaran kembang api dilakukan Wakil Ketua Umum
Panitia Perayaan Imlek dan Cap Go Meh 2023 Singkawang, Thjai Chui Mie.
Ribuan orang yang menunggu setelah matahari
terbenam, terpesona melihat letusan kembang api di udara. Mereka tak hanya
warga sekitar, tetapi ada beratus orang warga etnis lain dan wisatawan sengaja
datang ke kota itu.
Kembang api meluncur ke udara dan pecah di angkasa
dengan semburan warna kuning terang seperti bunga dandelion. Sambung menyambung
hingga enam kotak kembang api habis dinyalakan.
Kembang api juga dinyalakan di kelenteng kecil
lainnya. Panitia Imlek memperkirakan ada lebih 1.000 kelenteng di kota yang
wilayah baratnya berbatasan dengan Laut China Selatan ini.
Perkiraan angka seribu kelenteng itu berdasarkan
jumlah yang diketahui panitia imlek. Khusus kelenteng umum ada sekitar 200-an.
Sedangkan kelenteng pribadi bisa mencapai ribuan unit. Karena panitia menerima
pendaftaran dari kelenteng yang biasa, miniatur, dan yang ada tatung (lauya)
jumlahnya mencapai 717 kelenteng untuk ikut Cap Go Meh.
"Artinya ada ribuan kelenteng yang ada di
Kota Singkawang," kata Tjhai Chui Mie.
Penghitungan jumlah kelenteng berdasarkan jumlah
tatung (lauya) karena adanya santunan yang diberikan kepada mereka. Tatung
adalah lauya (dukun) yang kerasukan roh leluhur. Ada tatung menggunakan tandu
dan ada tatung pejalan kaki. Mereka mewakili kelenteng yang tersebar luas di
Singkawang.
Ratusan tatung ini nantinya akan memeriahkan Cap
Go Meh, perayaan hari ke 15 Imlek pada 5 Februari 2023.
Tjhai Chui Mie menyebut tahun baru kali ini lebih
ramai karena banyak warga yang merantau dapat pulang ke kampung halaman. Dua
tahun tak bisa merayakan secara meriah. Tahun ini sangat meriah sekali dan
panitia menyambut kedatangan para perantau dengan rangkaian acara mulai dari
tanggal 20 Januari hingga 6 Februari mendatang.
"Panitia pun sangat bahagia dengan suasana
menyambut Imlek 2574, tahun Kelinci Air ini," kata dia.
Selain di kelenteng, kembang api dan petasan juga
dinyalakan di rumah-rumah warga setempat. Sebagian warga masih percaya bahwa
penyalaan kembang api dan petasan akan mengusir roh jahat, sehingga tak ganggu
kehidupan manusia selama satu tahun ke depan.
Setelah pesta kembang api, pada tanggal 1 Imlek,
warta Tionghoa Singkawang akan membuka pintu bagi teman dan relasi atau
masyarakat umum untuk bersilaturahmi layaknya lebaran Idul Fitri.
Tradisi ini berlangsung berhari-hari hingga
tibanya Cap Go Meh. Hidangan yang disajikan mirip lebaran umumnya, ada kue-kue
dan minuman.
Namun yang membedakan, biasanya hidangan kue
keranjang yang selalu ada di meja tamu. Hidangan kue keranjang juga dapat
ditemui di rumah warga Tionghoa di Pontianak dan sekitarnya.
Satu lagi yang menarik saat Imlek di Singkawang
adalah pameran di Stadion Kridasana, Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat.
Pameran diikuti pengusaha UMKM setempat. Dalam
pameran ada replika Kampung Tionghoa dan taman kelinci. Warga setempat dan
wisatawan dapat berkunjung ke pameran ini untuk berswafoto dengan simbol-simbol
Imlek dan masuk ke replika kampung dengan membayar biaya "memberi makan
kelinci" sebesar Rp20 ribu per orang.
Dalam replika itu terdapat spot foto yang menggambarkan suasana khas di kampung dengan
dinding rumah motif batu alam warna abu-abu. Bangunan semi permanen dengan wallpaper besar gambar suasana kampung di Tiongkok.
Kemudian di sisi kanan terdapat kandang yang
berisi 11 ekor kelinci berwarna putih, abu-abu, dan hitam. Kelinci menjadi
simbol tahun ini adalah tahun (shio) Kelinci Air. Etnis Tionghoa percaya shio
Kelinci Air bermakna perdamaian, harapan, kemakmuran, dan berumur panjang.
Semoga pengharapan itu dapat terwujud pada tahun
ini.
(Tim Liputan)
Editor : Aan