KALBARNEWS.CO.ID (BEIJING) -- Pengumuman yang
baru saja dirilis Tiongkok tentang perubahan kebijakan Covid-19 menarik
perhatian berbagai pihak, terutama potensi dampak negatif dari perubahan
kebijakan ini terhadap ekonomi. Sabtu (7 Januari 2023).Prospek Ekonomi Tiongkok Setelah Perubahan Kebijakan Covid-19
Memang benar, Tiongkok dapat menemui beberapa tantangan dalam
angka belanja ritel dan pengeluaran konsumen pada tahap awal ketika
memperlonggar kebijakan pengelolaan Covid-19. Namun, pelonggaran kebijakan
Covid-19 bukan berarti pemulihan ekonomi segera terjadi. Lonjakan kasus
penularan Covid-19 dapat melanda setiap negara—tak hanya Tiongkok, dan
masyarakat membutuhkan waktu sebelum beraktivitas kembali di berbagai gerai dan
restoran.
Meski
demikian, data terbaru telah menunjukkan pemulihan aktivitas konsumsi di
Tiongkok. Sejak perubahan kebijakan Covid-19, tingkat kunjungan di beberapa
bioskop di Beijing kembali mencapai 75% dari tingkat reguler.
Sementara, restoran ternama mencatat arus kunjungan lebih dari 80%, seperti
dilaporkan Kantor Berita Xinhua, Tiongkok.
Setelah
optimasi respons Covid-19 dilakukan, masyarakat Tiongkok akan lebih berminat
berlibur dan berbelanja. Sektor konsumsi akan menjadi motor penggerak utama
dalam pertumbuhan ekonomi, menurut Kepala Ekonom China Securities Huang Wentao
lewat wawancara terbaru dengan Xinhua. Wu Chaoming, Kepala Ekonom Chasing
International Economic Institute, menilai, angka konsumsi per kapita masyarakat
Tiongkok akan meningkat dari 8% menjadi 12% pada tahun baru ini.
Banyak
perusahaan asing turut optimis atas prospek ekonomi Tiongkok. "Meski
(pelonggaran kebijakan penanganan Covid-19) dapat menimbulkan beberapa
tantangan jangka pendek, kami menilai, pemulihan akan terjadi dalam jangka
panjang," kata Kenichi Tanaka, President, Fujifilm
(China) Investment Co., Ltd, seperti dilaporkan Xinhua.
Sebenarnya,
pemberlakuan kebijakan antivirus yang ketat selama tiga tahun terakhir telah
menimbulkan beberapa kendala. Namun, ekonomi Tiongkok berhasil memperkuat daya
tahannya. Menurut Kepabeanan Tiongkok, nilai perdagangan barang Tiongkok
meningkat 8,6% secara tahunan menjadi RMB 38,34 triliun (US$
5,78 triliun) sepanjang 11 bulan pertama pada 2022.
Di tengah
kemerosotan ekonomi yang dipicu oleh virus di seluruh dunia, produk domestik
bruto (PDB) Tiongkok mengalami pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 4,6% dari
Triwulan III-2019 hingga Triwulan III-2022, menurut Organization for Economic
Cooperation and Development. Kinerja ini jauh di atas angka pertumbuhan PDB
rata-rata dunia. Angka pertumbuhan PDB Amerika Serikat—perekonomian terbesar di
dunia—tercatat sebesar 1,6% pada periode serupa. Pertumbuhan PDB negara-negara
maju lain, termasuk Jerman, Perancis, Inggris, dan Jepang, bahkan berada di
bawah 0,5%.
Tiongkok
berhasil menjaga tingkat inflasi rendah, yakni 2%, menurut Bank Sentral
Tiongkok. Amerika Serikat, kendati demikian, mengalami lonjakan inflasi hingga
9,1% pada Juni 2022, angka inflasi tertinggi dalam lebih dari 40 tahun. Menurut
data Moody's Analytics pada 2022, lonjakan inflasi membuat rumah tangga Amerika
kehilangan $445 setiap bulan dibandingkan satu tahun sebelumnya.
Meski lonjakan biaya pangan, energi, dan hunian membebani jutaan keluarga
Amerika yang telah kesulitan memenuhi anggaran belanja rumah tangga, Tiongkok
mengalami penurunan harga pangan—turun 0,8% secara bulanan pada November lalu,
menurut data National Bureau of Statistics. (Tim Liputan)
Editor : Aan