![]() |
Syafaruddin DaEng Usman, Sejarawan Dan Budayawan |
Ia bagaikan terlahir kembali
sebagai seorang bayi yang suci, serta pada saat ajal kelak akan kembali kepada
Tuhannya dalam keadaan sunyi dan sendiri.
Tangisan Seorang Bayi Adalah
Suara Nurani Yang Bening
Sementara jeritan seseorang yang
ditinggal mati merupakan ratapan sanubari yang membuat mayat (orang yang
meninggal) terperangkap dalam kegelapan.
Hasrat keruhanian yang selalu
ingin kembali kepada Allah telah mewujudkan
kerinduan seorang anak akan dekapan ibunya.
Keinginan seorang perantau untuk
mudik ke kampung halamannya, dan kesadaran seorang pendosa untuk bertaubat
kepada Tuhannya.
Itulah fitrah manusia yang akan
membuat kehidupan semakin bermakna dan membentuk kepribadian yang memancarkan spiritualitas.
Getaran takbir terus menelusup
dalam kesadaran seorang Muslim yang kalbunya terasah selama Ramadan, yakni
bulan di mana nafsu dikendalikan.
Gema takbir, tebaran senyum, dan
luapan kegembiraan menyala bagai pasukan yang sedang merambah jejak kemenangan
yang membuat ribuan malaikat menangis dan mengucurkan air mata rahmat.
Pada hakikatnya, takbir Allahu
Akbar atau Allah Maha Besar, adalah penanaman suatu kesadaran dan pencerahan
untuk menata kehidupan yang dimulai dari kekhusyukan melakukan ibadah (mahdhah)
dan peraturan keagamaan (syari'ah) yang dapat mengantarkan manusia pada
kebenaran sejati (al Haq).
Dalam momen Idul Fitri, kata
fitri yang satu akar dengan fitrah atau khilqah, mempunyai arti kesucian asal,
atau penciptaan yang suci, di mana di dalamnya mengandung berbagai
kecenderungan primordial manusiawi yang suci selama sejalan dengan fitrah
Allah.
Fitrah yang baik kemudian
diekspresikan manusia dengan kepasrahan kepada Allah dan daya kreatif dalam
memperbaharui pemaknaan teks-teks keagamaan (al mushush al diniyyah) sehingga
mempunyai spirit pembebasan serta penghayatan keagamaan yang menjunjung tinggi
rasionalitas, pluralitas, kesetaraan, keadilan, dan keseriusan dalam menghadapi
problem kemanusiaan.
Untuk itu, sangat disayangkan
jika Idul Fitri hanya berhenti pada "ritus kultural rutin" yang tidak
menghasilkan jawaban atau kemenangan atas kegelisahan batin, kesenjangan
sosial, kebuntuan budaya, keruntuhan moralitas umat, dan sebagainya.
Idul Fitri sepatutnya menjadi
refleksi bagi umat Islam apakah hendak memilih "jalan Allah" menuju
peradaban yang penuh kemuliaan, atau sebaliknya.
Manusia dengan beraneka watak dan
perjalanan hidup pada akhirnya semuanya akan kembali kepada Allah Sang Pemilik
Sejati.
Pemaknaan Idul Fitri menuju apa
yang diucapkan sebagai minal 'aidin wal fa'izin, yakni orang-orang yang kembali
menemukan nurani, jati diri, dan kehangatan Ilahi.
Mereka meraih ketenangan ruhani,
kebahagiaan keluarga, dan kedamaian dengan sesama.
(Penulis: Syafaruddin DaEng Usman, Sejarawan Dan Budayawan)