![]() |
Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel), Amir Yanto Terima Silaturahim LDII |
Ha
tersebut dikatakan, saat menerima Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso dan
jajaran di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Senin (10/4), “Dengan
peraturan itu, semua warga negara Indonesia mempunyai hak untuk beribadah,
begitu juga LDII,” ujarnya.
Apalagi
LDII, menurut Amir Yanto, terus bersilaturahim dengan berbagai pihak.
Silaturahim tersebut menunjukkan LDII adalah organisasi yang sifatnya terbuka
dan siap dikritisi.
“Kejaksaan
Agung menilai positif terhadap LDII, karena telah menerapkan nilai-nilai
kebangsaan sebagai program prioritas dari delapan program kerja LDII. Ini bisa
ditiru ormas lain,” tutur Amir Yanto menanggapi tudingan LDII eksklusif.
Pada
kesempatan tersebut, KH Chriswanto Santoso memaparkan pandangan LDII mengenai
Pancasila. Ia mengatakan, sila pertama Pancasila, harus menjadi pondasi
sekaligus mewarnai empat sila yang lain.
“Dengan
sila pertama menjadi pondasi, maka Indonesia tidak akan menjadi negara agama.
Negara yang plural dengan dominasi agama tertentu bisa melahirkan konflik
berkepanjangan,” tuturnya.
Dengan
memahami semangat dan jiwa yang tergali dari sejarah kelahiran Pancasila, maka
LDII meyakini sila ketiga Persatuan Indonesia haruslah menjadi bingkai.
“Jadi,
apapun agama yang dipeluk, aktualisasi kemanusiaan yang dilakukan, bentuk
demokrasi yang dijalankan, dan model keadilan yang diterapkan, harus tetap
dalam bingkai persatuan Indonesia atau NKRI,” papar KH Chriswanto.
Menurutnya,
jika sila pertama dijadian sebagai pondasi, sila ketiga sebagai bingkai, sila
kelima sebagai tujuan.
“Maka
sila kedua dan keempat sebagai semangat dan cara untuk mencapai tujuan berbangsa
dan bernegara,” pungkasnya.
Ia
menerangkan, bangsa Indonesia tanpa Pancasila akan rapuh karena tidak punya
pondasi yang kuat. Akan bercerai-berai karena tidak ada bingkai yang jelas.
Akan kehilangan arah karena tidak punya tujuan yang jelas.
“Akan
menjadi tidak beradab, karena kehilangan semangat kemanusiaan dan kebersamaan,”
jelas KH Chriswanto.
KH
Chriswanto Santoso mengapresiasi Kejaksaan Agung, yang telah memfasilitasi
warga LDII untuk literasi hukum dalam program Jaksa Masuk Pesantren.
“Interaksi
dan komunikasi antara Kejaksaan Negeri dengan pondok-pondok pesantren kami
betul-betul luar biasa. Semoga sinergisitas ini bisa terus dijalin dalam
sehingga tercipta persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI,” ujarnya.
Pemaparan
KH Chriswanto tersebut diapresiasi Jamintel Amir Yanto. Ia mengatakan konsep
berpancasila LDII dapat menjadi contoh ormas-ormas lainnya, terutama dalam
memandang perbedaan harus tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa.
“Keberagaman
itu dipersilahkan, asal jangan membuat keragaman menjadi perbedaan. Kita
memiliki NKRI yang harus ditopang dengan Empat Pilar Kebangsaan, sebagai warga
negara Indonesia harus memahami hal itu,” tutur Amir Yanto yang sebelumnya
menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan.
Sanggahan Isu-isu Negatif Terkait LDII
Sementara
itu, terkait isu-isu negatif yang dituduhkan kepada LDII, Direktur Sosial
Kemasyarakatan (B) Jamintel, Ricardo Sitinjak menyatakan, pihaknya telah
melakukan pemetaan dan pendataan. Mulai dari LDII di Kediri yang menjadi pusat
pendidikan para santri, kemudian ke Solo, Cilacap hingga Manado dan Ternate.
“Kami
belum menemukan bukti terkait isu negatif yang dikabarkan orang-orang,”
tegasnya.
Ia
menyoroti salah satu isu negatif yang kerap dihembuskan pihak-pihak yang tak
bertanggung jawab, seperti masjid LDII dipel setelah dipakai jamaah lain.
“Soal
masjid dipel, kalau memang dibersihkan untuk kebersihan, itu merupakan sebagian
dari iman. Mengapa harus dianggap esklusif,” ujarnya.
Ricardo
Sitinjak menegaskan masjid adalah tempat beribadah, demikian pula masjid LDII.
“Siapapun
bisa beribadah di sana, ya boleh-boleh saja dan sah-sah saja. Yang penting
bagaimana kita melakukan ibadah dengan baik dan benar,” tegas Ricardo.
Ricardo
Sitinjak mempersilakan ormas-ormas Islam melaksanakan metodenya masing-masing
dalam beribadah, termasuk LDII.
“Yang
penting tidak berbicara tentang penodaan agama. Kalaupun ada penodaan agama,
bisa dikenakan pasal 156 KUHP, yang bisa diterapkan bersama ancaman pidana dari
undang-undang lainnya,” pungkasnya.
Ricardo
menambahkan, umat beragama di Indonesia bebas melaksanakan ibadah dan
keyakinannya, karena mendapat jaminan dari negara. Namun ormas juga memiliki
kewajiban, yakni mentaati peraturan pemerintah dan tidak merasa benar sendiri,
kemudian menyalahkan pihak lain yang dianggap berbeda. (san/tim liputan).
Editor : Heri