Negeri Darurat Judi

Editor: Redaksi author photo

ilustrasi

KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK)
- Menang ketagihan, kalah penasaran. Demikianlah slogan untuk judi, yang saat ini -dengan berbagai bentuk- sudah mencapai level darurat di negeri tercinta kita. Mulai dari judi manual, judi mesin, yang berbentuk mesin capit, dan yang paling fenomenal adalah judi online. Lebih parah lagi, pelakunya dari kalangan menengah ke bawah, anak di bawah 10 tahun, oknum kepolisian, PNS, anggota KPK, bahkan anggota DPR. (Seasa (16 Juli 2024)


Hari ini, judi online (judol) menempati rangking 1 yang paling digandrungi berbagai kalangan. Judol inilah yang pelakunya merambah ke berbagai segmen di masyarakat. Bahkan dilakukan oleh orang-orang terdidik dan bertampang "baik". Bermodalkan android saja, pelaku judol bebas berselancar dalam aktivitas haram. 


Menurut laporan Menko Polhukam Hadi Tjahjanto, ada sekitar 4 juta orang yang terdeteksi judol di Indonesia. Usia pemain judol ini bervariasi, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Sesuai data demografi pemain judol, usia di bawah 10 tahun ada 2% atau 80 ribu orang, usia 10—20 tahun ada 11% (440 ribu), usia 21-30 tahun 13% (520 ribu), usia 31—50 tahun 40% (1,64 juta) dan usia di atas 50 tahun 34% (1,35 juta). Pelaku judol ini adalah rata-rata kalangan menengah ke bawah, jumlahnya 80% dengan nominal transaksi mulai Rp10.000 sampai Rp100.000, sedangkan di kelas menengah ke atas mulai dari Rp100.000 hingga Rp40 miliar. (Databoks Katadata, 24-6-2024).


Ironisnya, perputaran uang hasil judol memang cukup fantastis. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat total perputaran uang dari judi online sepanjang 2023 mencapai Rp 327 triliun (cnbcindonesia.com). 


Berbagai upaya memang telah dilakukan untuk memberantas judol. Akan tetapi kita juga harus jujur, bahwa berbagai upaya tersebut hanya tambal sulam, bahkan memunculkan masalah baru karena memang tidak menyentuh akar masalah. Satu akun judol diblokir, ternyata terus bermunculan akun perjudian baru dengan berbagai bentuk dan kedok. Mirisnya lagi, masyarakat pun seolah tidak ada kapoknya terus berhubungan dengan judol.


Dengan upaya yang telah dilakukan selama ini, kesannya memang "kalah" dibandingkan semangat para bandar judol yang meraup keuntungan fantastis. Bisa jadi, para bandar judol memiliki bekingan yang kuat, sehingga mereka sulit dihentikan. 


Maraknya judol hari ini pun bukan semata karena masalah kemiskinan. Gaya hidup hedonistik masyarakat negeri ini sudah makin parah, budaya flexing di media sosial pun sudah menjadi hal lumrah. Akhirnya, judol yang dipilih sebagai jalan pintas, ingin cepat kaya tanpa perlu kerja keras.


Padahal, begitu banyak kerugian akibat menjadi pelaku judol. Harta habis, keluarga terlantar, hutang menumpuk, terlihat pinjol (pinjaman online), bahkan berujung berakhirnya nyawa. Belum lama ini kita cukup tersentak atas kasus seorang oknum polwan yang membunuh suaminya lantaran kesal sang suami terlihat judol di tengah ekonomi yang sulit. 


Keharaman judi sebenernya sudah sangat jelas. Hanya saja, pemisahan agama dari kehidupan individu rakyat saat inilah yang menjadi akar masalah sesungguhnya. Tak peduli haram, semua dihantam. Bagi pelaku judi, tak peduli keharamannya yang penting senang. Sedangkan bagi bandar judi, tak peduli sumber pendapatannya dari jalan haram dan merusak banyak orang. 


Untuk memberantas judol -maupun berbagai bentuk judi lainnya-, maka peran negara sangat vital. Tidak cukup hanya pada komitmen memberantas tanpa aksi nyata. Judi harus dihentikan dengan dia langkah. Pertama, langkah preventif dengan melakukan edukasi maksimal terkait keharaman judi. Negara tidak boleh membiarkan atau memberikan izin perjudian online maupun melokalisasi perjudian offline. Negara pun tidak boleh mengambil pajak dari bisnis judi atau yang terindikasi judi. 


Negara juga harus menjamin lapangan pekerjaan bagi rakyat. Sembari menguatkan aqidah dalam diri Rakyat agar tak terjerumus dalam perilaku haram, atau tergiur mendapatkan uang secara instan. 


Kedua, langkah kuratif dengan memberikan hukuman bagi pelaku maupun bandar judi. Hukuman tidak harus penjara, namun menimbulkan efek jera. Hukuman itu dapat dirujuk di berbagai literatur yang menerangkan sejarah penerapan hukum di suatu negara yang berhasil memberantas judi.((FiS)

Editor : Aan

Share:
Komentar

Berita Terkini