Ketua DPD Partai Golkar Kalbar, Maman Abdurrahman
KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) - Ketua DPD Partai Golkar Kalbar, Maman Abdurrahman membongkar alasan mengapa Partai Golkar akhirnya lebih memilih Sutarmidji ketimbang Ria Norsan yang notabene adalah kader partai sendiri, untuk diusung dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kalbar 2024.
Alasan itu ia disampaikan Maman secara blak-blakan saat diwawancarai oleh salah satu podcast di akun YouTube, seperti dilihat pada Selasa (10/09/2024).
Di mana pada awalnya Maman menceritakan, kalau ia hampir 4 - 5 bulan mencoba menjembatani komunikasi politik antara Sutarmidji dan Ria Norsan, dengan tujuan agar keduanya kembali bersatu sebagai satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada pilkada serentak 2024 ini. Namun ketegangan malah muncul dan meruncing. Baik Sutarmidji maupun Norsan sangat sulit sekali dipersatukan dalam perbedaan konsep dan tujuan.
“Saya harus bilang apa adanya, dasar pertimbangan untuk bersama-sama kedua orang ini berbeda, yang satu pakai pendekatan—coba kita lihat Pak Midji (sapaan Sutarmidji), padahal saya dengan Pak Midji ini sering kelahi loh, sering ribut, sebagai elit politik sering berdebat, bertengkar, tapi memang masih ada satu yang masih saya pegang kelebihan Pak Midji ini, ini harus apa adanya, karena saya mengambil keputusan ini risikonya besar, dia masih mengambil dasar pertimbangan kebijakan, selalunya rakyat, selalu masyarakat, bukan elit politik,” ungkap Maman.
“Makanya terkesan Pak Midji dengan beberapa elit-elit politik dianggap kurang akur. Karena mindset-nya Sutarmidji itu ‘aku mau berpikir tentang program riil dulu lah di bawah, nanti baru kita bicara kepentingan yang lain-lain’,” sambungnya.
Hal itu berbeda dengan Ria Norsan. Menurut Maman, Ria Norsan saat itu lebih kepada pertimbangan pada posisi menjadi apa dan mendapatkan apa, baik secara pribadi maupun untuk kepentingan keluarganya.
“Kalau Pak Norsan kemarin itu berbeda, ini harus saya sampaikan apa adanya, supaya kita bisa utuh melihat persoalan ini. Kalau Pak Norsan, dalam perspektif pribadi dan keluarga, silakan lah diterjemahkan, karena ada deal-deal, saya harus dapat ini, harus begini, proyek ini, program ini segala macam, akhirnya masuk itu kepentingan pribadi, keluarga, proyeknya, programnya, bagaimana segala macam 5 tahun kedepannya, akhirnya tidak ketemu (dengan Sutarmidji),” paparnya.
Padahal sebelumnya, Maman juga membeberkan, bahwa secara hitung-hitungan di atas kertas dan di lapangan, Norsan saat itu sebenarnya berada di posisi 3—sebagai pilihan. Sementara Sutarmidji berada di nomor wahid. Namun karena perhitungan kader, maka Norsan diupayakan maju mendampingi Sutarmidji.
“Dasarnya adalah kualifikasi kandidat, kalau melihat dari kualifikasi kandidat secara objektif, tentulah Pak Sutarmidji adalah prioritas pertama. Kedua Pak Muda (Muda Mahendrawan), baru yang ketiga Pak Norsan. Tetapi karena Pak Norsan adalah kader partai, pastilah ada faktor subjektivitas (sehingga diupayakan bisa mendampingi Midji ketimbang Muda, red),” tutur Maman.
Bahkan kalau mau dilihat dari hasil survei internal pun, nilai persentase Norsan sebenarnya cukup jeblok, berbeda dengan Sutarmidji yang selalu bertengger di atas rata-rata calon yang ada.
“Survei Pak Norsan rendah, Pak Midji tinggi di atas rata-rata, 56 - 57 persen. Kalau pasangan (Midji-Norsan) memang tinggi, ketika dipecah (Norsan) rendah. Kita sudah buat simulasi, (coba-coba) Pak Midji pasangan dengan si A, Pak Norsan pasangan dengan si B, jauh (hasilnya). Artinya dari pendekatan saintifik juga dilakukan (sebagai pertimbangan keputusan),” katanya.
Muncul “Oase” di Tengah Padang Pasir
Hari-hari berikutnya, komunikasi politik yang coba dibangun antara Sutarmidji dan Ria Norsan serasa deadlock, lengket, tak bisa ke mana-mana. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Maman Abdurrahman pun mengaku telah berupaya sebisa mungkin, bagaimana menawar aspirasi “pribadi dan keluarga” yang menjadi nilai bargain pihak Norsan, namun tak bisa jua berbuat apa-apa.
Maman bahkan menggambarkan, kalau kondisi koalisi kala itu, terutama Partai Golkar sempat merasa gamang lantaran hubungan keduanya kian kering dan gersang, tak ada setetes air harapan untuk dilanjutkan.
Namun tanpa dinyana, pada hari-hari kritis menuju pendaftaran ke KPU—muncul sosok dari sebelah ujung utara Kalbar, Didi Haryono, mantan polisi berprestasi dengan membawa setumpuk asa. Maman bahkan membahasakan kemunculan Didi saat itu bak “oase di padang pasir nan gersang”.
“Pak didi ini saya menganggap seperti oase di padang pasir, di tengah gersang, krisis figur, (muncul) salah satu putra terbaik Kalbar, akhirnya kita ‘kawinkan’ (dengan Sutarmidji), dan ternyata menyatu dengan kita, secara konsep itu sama, secara visi (sama),” tutur Maman.
Dirinya berujar, kalau saat itu memang telah muncul daftar nama bakal calon wakil pengganti Ria Norsan. Namun hanya Didi yang akhirnya dinilai sebagai paket lengkap untuk menjadi pendamping Sutarmidji.
“Didi, dia kan doktor, secara intelektual tidak diragukan, dari aspek keamanan ketertiban—karena isu politik identitas seringkali memprovokasi saudara-saudara kita untuk saling berbenturan, tambah lagi jam terbang beliau berkomunikasi bimbingan masyarakat, jadi saya melihat kombinasi kedua untuk pasangan ini terbaik untuk kepentingan Kalbar,” katanya.
“Makanya tadi saya pakai analogi oase di padang pasir. Jadi pertimbangannya bukan sekadar pertimbangan partai, kepentingan si A si B, endak! Ada pertimbangan objektif, latar belakang orang itu, tidak sekadar di ujung-ujung ‘kawin’,” tukas Maman.
Konsekuensi dari Sebuah Keputusan
Secara tulus, Maman Abdurrahman menyatakan, bahwa dirinya dan Partai Golkar sangat menghormati keputusan Ria Norsan untuk berpisah dan maju sebagai bakal calon Gubernur Kalbar dari partai lain. Namun begitu, kata Maman, di sisi lain, mekanisme kepartaian juga harus terus berjalan.
Singkatnya, berdasarkan Rapat Kerja Daerah (Rakerda) dan Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) Partai Golongan Karya Provinsi Kalbar yang diselenggarakan di Ballroom Hotel Golden Tulip Pontianak, pada Sabtu (07/09/2024) kemarin, Ria Norsan secara resmi dicopot dari kepengurusan Partai Golkar. Tepatnya ia dicopot dari jabatan Ketua Dewan Pertimbambangan (Wantim) DPD Partai Golkar Provinsi Kalbar.
Sebagai gantinya, DPD Partai Golkar Provinsi Kalbar memajukan Didi Haryono untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut. Keputusan ini pun telah disepakati oleh seluruh Anggota Wantim DPD Partai Golkar Provinsi Kalbar.
“Sudah diputuskan posisi Pak Norsan sebagai Ketua Wantim Partai Golkar. Kemarin kita memberhentikan beliau (Norsan) sebagai ketua wantim dan kita mendorong Pak Didi sebagai ketua wantim. Sudah diputuskan, saya nanti tinggal keluarkan SK (sebagai) ketua DPD. Artinya Pak Norsan bukan lagi pengurus Golkar,” jelas Maman.
“Memang usulan menjadikan Pak Didi ketua wantim itu (datang) dari anggota wantim, dari senior-senior yang ada itu, (totalnya) ada belasan orang anggota wantim (yang bulat bersepakat),” timpalnya. (Tim Liputan)
Editor : Aan