Rahasia Kematian Warok Suromenggolo |
KALBARNEWS.CO.ID (PONTIANAK) – Ini cerita sejarah tentang Warok
Suromenggolo yang dihimpun dari beberapa sumber dan
menjadi legenda di Ponorogo Jawa Timur, menurut Babad Ponorogo
Raden Bethara Katong mempunyai 5 istri yaitu:
1. Sang Permaisuri
Putri Adi Kaliwungu dari Demak sumare ing Setono
2. Putri dari Loano,
Bagelen sumare ing Setono
3. Putri Pamekasan,
Madura sumare ing Setono
4. Dyah Roro Ayu Niken
Gandini, putri Ki Ageng Kutu Ponorogo
5. Putri Kuning putri
dari Ki Buyut Wono dari Kertosari.
Sebelum wafatnya
Bathara Katong telah berwasiat kepada 5 istrinya: "Besok jika saya
meninggal dunia, kalian jangan menikah dengan orang lain. Dan jika ada yang
melakukannya, maka ia tidak boleh dimakamkan di dekat makam saya."
Istri ke 4 Bathara
Katong Dyah Ayu Rara Niken Gandini putri dari Wengker mempunyai seorang adik
yang bernama Ki Suromenggolo, seorang warok terkenal putra Ki Ageng Kutu dari
Wengker musuh dari Bathara Katong yang akhirnya menjadi abdi setia Bathara
Katong dan diangkat sebagai demang di Kertosari.
Sang Warok ditugaskan
untuk menjaga kelima istrinya khususnya Putri Kuning yang paling muda.
Warok Suromenggolo
adalah murid utama dari Ki Singobowo (Raden Singosari) seorang bangsawan dari
Kadipaten Loano, Bagelen, pamomong istri kedua Bathara Katong yang dimintai
bantuan bersama Eyang Joyodrono dan Joyodipo menghadapi Ki Ageng Kutu yang
terkenal sakti mandraguna.
Pasca wafatnya Bathara
Katong beliau madeg pandito bertapa di Argowilis, dikenal dengan sebutan Ki
Ajar Singobowo, Mahaguru para warok ternama di Ponorogo yaitu Warok
Suromenggolo, Warok Surohandoko, Warok Gunoseco, Warok Singokobra dan Warok
Honggojoyo.
Sepeninggal Bathara
Katong, kedudukan Adipati Ponorogo diteruskan oleh sang putra menantu yang
masih belia, yaitu Adipati Panembahan Agung putra Pangeran Tumapel (Sayyid
Maulana Hamzah) putra Sunan Ampel dengan didampingi oleh adik Bathara Katong
dari satu ibu yang bernama Raden Bondan Surati yang diangkat sebagai Bupati
Nayoko Kadipaten Ponorogo.
Raden Bondan Surati
mempunyai adik satu ibu lain ayah yaitu Dewi Pandansari putra Pandito
Wilohandoko dari gunung Pandan daerah Kendeng. Pandito Wilohandoko merupakan
kakak dari Ki Cangkrangwojo dan Ki Sabuk Alu.
Dikisahkan pasca
wafatnya Bathara Katong, keempat istri beliau selalu mengingat dan menaati
wasiat beliau agar tidak menikah lagi. Tetapi Putri Kuning yang masih muda dan
sedang bergairah dalam perjalanan waktu diam-diam membangun hubungan cinta
dengan Raden Bondan Surati yang juga masih muda dan tampan.
Kedua insan yang
dimabuk cinta itu sering mencuri-curi waktu bertemu di taman keputren di malam
bulan purnama untuk memadu kasih.
Untuk itu Raden Bondan
Surati menyamarkan diri dengan memakai pakaian hitam dengan bercadar melompati
pagar keputren.
Para emban dan wanita
keputren yang melihat bayangan hitam mengiranya genderuwo yang memasuki taman
keputren. Mereka pun ketakutan dan masuk kamar keputren. Raden Bondan Surati
pun segera menemui Putri Kuning yang telah menunggunya di bawah pohon di taman
keputren. Keduanya pun bercumbu rayu dengan aman.
Kelakuan keduanya
sebenarnya telah diketahui oleh Ki Suromenggolo yang ditugasi menjaga para
istri dan keluarga Bathara Katong.
Ki Suromenggolo telah
menasehati Putri Kuning untuk tidak melanggar wasiat sang suami dengan menjalin
hubungan dengan Raden Bondan Surati, adik Bathara Katong yang nantinya akan
mencoreng nama baik Kadipaten.
Tapi nafsu dan gairah
yang membuncah dan tidak bisa lagi dibendung membuat Putri Kuning tidak mau
mendengar nasihat Ki Suromenggolo.
Bahkan karena adanya
halangan dari Ki Suromenggolo, Putri Kuning berniat menghabisi Ki Suromenggolo
dengan caranya sendiri agar tujuannya menjalin hubungan dengan Raden Bondan
Surati bisa berhasil.
Putri Kuning berusaha
menghasut dan mengadu domba Raden Bindan Surati dengan Ki Suromenggolo dengan
mengatakan bahwa Ki Suromenggolo akan memperkosanya di kamar Keputren.
Raden Bondan Surati
yang telah terprovokasi dengan mudah diperalat untuk menghabisi Ki Suromenggolo
dengan menyewa orang bayaran.
Sesuai arahan Putri
Kuning, Bondan Surati menemui para bromocorah dari gunung Pegat, anak buah
Warok Surogentho musuh bebutan Suromenggolo yang telah dibunuh sebelumnya.
Mereka adalah Warok
Suro Bacok, Suro Jegol, Suro Jugil. Dengan iming-iming segepok uang dan cincin
Putri Kuning dengan ucapan bahwa bila mereka tidak membunuh Ki Suromenggolo,
maka ia yang akan menghabisi mereka.
Ketiganya menyanggupi
untuk menghabisi Ki Suromenggolo. Setelah mempertimbangkan hari naas
Suromenggolo dan naas mereka sendiri dan pembagian tugas yang matang, eksekusi
harus selesai pada suatu malam yang telah ditentukan lewat perhitungan yang
matang sebelum jam satu malam.
Suro Bacok bertugas
sebagai tukang sirep, Suro Jegol bertugas menggangsir tanah, Suro Jugil sebagai
pengawas. Pekerjaan dimulai jam 11 malam. Menjelang jam 1 malam mereka telah
berhasil menjebol masuk kamar Suromenggolo lewat bawah tanah.
Tetapi naas, Ki
Suromenggolo yang sedang tidur mendengkur dengan kewaskitaanya terbangun dan
berhasil membekuk ketiga anak buah Warok Surogentho dalam suatu pertarungan
yang mematikan.
Ketiganya pun akhirnya
takluk menyerah dan meminta ampunan kepada sang warok. Ki Suromenggolo pun
dengan lapang dada mengampuni mereka dan menjadikan ketiganya sebagai abdi dan
pengawal setianya. Ketiganya pun akhirnya membuka otak rahasia siapa yang
menyuruh.
Melihat usahanya gagal,
Raden Bondan Surati pergi ke Argolawu berguru kepada Sunan Lawu yang tidak lain
adalah Raden Gugur, kakaknya sendiri yang memerintahkan untuk lelaku selama 40
hari 40 malam.
Kemampuannya pun
meningkat drastis tetapi keinginannya untuk menyingkirkan warok Suromenggolo
tidak direstui Sunan Lawu karena Suromenggolo hanya menjalankan perintah
Bathara Katong, kakaknya sendiri untuk menjaga keluarga dan istri-istrinya.
Sepulang dari Argolawu,
Raden Bondan Surati segera pulang ke Kadipaten Ponorogo menemui Putri Kuning di
Keputren untuk melampiaskan rasa rindunya dan menceritakan semua pengalamannya
di gunung Lawu bersama kakaknya Sunan Lawu yang tidak mau merestui langkahnya
untuk menghabisi warok Sumenggolo. Beliau tidak mempercayai tindakan buruk yang
dilakukan Ki Suromenggolo terhadap Putri Kuning, janda kakaknya Bathara Katong.
Ketika hendak keluar
kaputren, Raden Bondan Surati yang masuk dengan menyamar sebagai genderuwo
memakai pakaian serba hitam langkahnya tiba-tiba dihadang para prajurit yang
ditugaskan Warok Suromenggolo menjaga Kaputren.
Dengan penuh percaya
diri dengan kemampuan yang baru didapatnya dari Sunan Lawu, para prajurit
dengan mudah dikalahkan dan dibinasakan oleh Raden Bondan Surati.
Tetapi sebelum keluar
dari gerbang Kaputren, langkahnya dicegat oleh Warok Suromenggolo dan
terjadilah pertarungan dahsyat diantara keduanya.
Karena merasa jumawa
dengan kemampuannya, Raden Bondan Surati lengah dan naas pun tak dapat
dihindarkan, golok Ki Suromenggolo dengan cepat menebas leher Raden Bondan
Surati dan tubuhnya ambruk ke tanah.
Kaputren pun geger
dengan jatuhnya sosok genderuwo yang sering masuk taman keputren yang tidak
lain adalah Raden Bondan Surati.
Pada suatu waktu, dalam
satu pisowanan di Kadipaten Ponorogo, Ratu Kuning meminta kejelasan terkait
kematian Raden Bondan Surati ditangan Warok Suromenggolo.
Adipati Panembahan
Agung menjawab bahwa permasalahan telah selesai ditangani secara kekeluargaan
oleh para pinisepuh Kadipaten. Tetapi Ratu Kuning minta Ki Suromenggolo tetap
diajukan di depan pengadilan untuk membuktikan diri.
Ditengah perdebatan
tentang keruwetan permasalahan Kadipaten datanglah 3 orang keluarga Raden
Bondan Surati dari gunung Pandan yaitu Dewi Pandansari putri Pandito
Wilohandoko, Ki Cangkrang Wojo dan Ki Sabuk Alu yang berargumen bila Raden
Bondan Surati memang bersalah seharusnya dibuktikan dulu di pengadilan bukan
langsung dibunuh oleh Warok Suromenggolo tanpa adanya bukti yang meyakinkan
terlebih dahulu.
Akhirnya Ki
Suromenggolo pun diajukan ke pengadilan dengan dakwaan telah membunuh Raden
Bondan Surati tanpa melalui putusan pengadilan.
Suromenggolo memberikan
alasan bahwa perilaku Raden Bondan Surati memasuki kaputren memasuki ruang
Putri Kuning dengan menyamar sebagai genderuwo telah dilakukan beberapa kali
sebelumnya dan langkah para prajurit hanya menjaga kaputren.
Adapun langkahnya
melawan Raden Bondan Surati pun setelah diserang terlebih dahulu oleh Raden
Bondan Surati.
Sebagai tambahan bukti,
Warok Suromenggolo pun membawa saksi tiga warok gunung Pegat tentang konspirasi
Ratu Kuning dan Raden Bondan Surati untuk membunuhnya dengan membawa bukti
kedua cincin Putri Kuning dan Bondan Surati serta uang yang diberikan sebagai
upah kepada ketiganya untuk membunuhnya.
Adanya bukti kedua
cincin tersebut membongkar skandal hubungan asmara keduanya yang menyebabkan
rasa malu yang sangat bagi Ratu Kuning dan membuatnya pingsan di tengah
pengadilan.
Penyelidikan lebih
lanjut menghasilkan satu putusan pengadilan, Warok Suromenggolo bebas dari
tuntutan, sedangkan Putri Kuning yang terbukti sebagai otak dari semua rencana
yang menyebabkan terbunuhnya Raden Bondan Surati dan para pengawal Kadipaten
diputus bersalah dan dikenakan hukuman mati.
Namun Ki Suromenggolo
beserta Adipati Panembahan Agung meminta keringanan hukuman, Putri Kuning
dikeluarkan dari Kadipaten untuk dikembalikan ke Wonokerto.
Tetapi ada yang tidak
terima dengan pengadilan putusan pengadilan tersebut. Pandansari maju kedepan
menantang Warok Suromenggolo untuk bela pati pada kakaknya.
Maka terjadilah
pertarungan hebat di alun-alun Kadipaten. Keris Pandansari yang ditusukkan
berkali-kali kearah badan Suromenggolo tidak mempan dan akhirnya ruyung
Suromenggolo yang menyambar dan mengenai kepala Dewi Pandansari dan
menghempaskankannya keatas tanah.
Melihat pertarungan
yang tidak seimbang, sang paman Ki Cangkrang Wojo segera terjun ke arena
pertempuran menghadapi Warok Suromenggolo yang sama-sama sakti, tetapi warok
Suro Jegol menghadangnya dan terjadilah pertempuran sengit antara keduanya.
Akhirnya Suro Jegol
berhasil dibanting, dipiting dan ditekak oleh Ki Cangkrang Wojo. Dan dengan
senjatanya Ki Cangkrang Wojo mengakhiri hidup Ki Suro Jegol.
Ki Cangkrang Wojo
kemudian menyentuh kepala Dewi Pandansari yang membuatnya langsung tersadar dan
keduanya segera mengeroyok Warok Suromenggolo yang membuatnya terdesak
kewalahan.
Mengetahui situasi
tersebut dari arah yang tidak diduga muncul Ki Singobowo dengan jungkir 3x di
atas tanah, berubah menjadi harimau yang amat besar menyerang Dewi Pandansari,
menggigit lehernya dan membawanya ke area persawahan disebelah timur alun-alun
Kadipaten Ponorogo.
Tepat disebelah barat
hutan Siredong tubuh Pandansari dicabik-cabik oleh harimau Ki Singobowo. Tempat
tersebut kemudian dikenal sebagai dukuh Pandansari.
Melihat hal tersebut Ki
Sapu Alu turun ke medan pertempuran mengeroyok Suromenggolo tetapi segera
dihadapi oleh Ki Suro Jugil. Ki Sapu Alu segera membereskan Ki Suro Jegol,
senjata Ki Sapu Alu segera menembus perut Ki Suro Jegol dan tewas seketika.
Ki Suro Bacot yang
tidak memegang senjata tak berani melawan. Maka Ki Sabuk Alu dan Ki Cangkrang
Wojo segera mengeroyok Ki Suromenggolo untuk dihabisinya.
Merasa terdesak Ki
Suromenggolo kemudian menjejakkan kakinya tiga kali ke tanah memanggil ruh Ki
Joyodrono, guru rohaninya. Kekuatan Ki Suromenggolo tiba-tiba meningkat berlipat-lipat.
Ki Cangkrang Wojo
dipegang, dibanting dan dilempar ke arah timur, jatuh di sekitar wilayah telaga
Ngebel. Adapun Ki Sabuk Alu dibanting dan dilempar ke arah barat dihutan
Sukorejo.
Adapun Putri Kuning
pada akhirnya wafat di Kertosari dan jenazahnya hendak dimakamkan di makam
Setono disamping suaminya Bathara Katong, namun liang lahatnya tidak pernah
cukup untuk menampung jenazah Putri Kuning sebagai isyarat ditolaknya Ratu
Kuning di makamkan di Setono.
Pada akhirnya jenazah
Putri Kuning dimakamkan di Wonokerto di belakang masjid Kertosari.
Pasca kematian Putri
Kuning, Niken Gandini, istri keempat Bathara Katong menemui adiknya Warok
Suromenggolo dan disampaikan akan akhir pengabdiannya di Kadipaten Ponorogo.
Diceritakannya akan
desus-desus yang beredar di lingkungan Dalem Kadipaten tentang kematian Raden
Bondan Surati di usia yang masih muda oleh adiknya sendiri Ki Suromenggolo.
Mendengar cerita
tersebut lemaslah Warok Suromenggolo, pendekar digdaya andalan Kadipaten
Ponorogo yang tak pernah pilih tanding. Ia merasa tersudutkan dan merasa malu
yang tak tertanggungkan dengan beredarnya desas-desus tersebut di Dalem
Kadipaten.
Ki Suromenggolo lebih
memilih pati daripada menanggung rasa malu. Ki Singobowo dari Argowilis yang
mengetahui kondisi murid kinasihnya datang menemuinya dan memberi isyarat akan
akhir hidupnya.
Ki Suromenggolo
membuang seluruh senjata dan pusaka yang melekat pada badannya, Ki Suromenggolo
pun segera bersuci lahir batin menghadapkan dirinya menghadap Sang Pencipta.
Pada bulan Sabtu di
bulan Ruwah, Ki Suromenggolo membaringkan tubuhnya terlentang, kepalanya di
sebelah timur.
Ia menyuruh kakaknya
Niken Gandini untuk membawakan kinang. Dengan tenang Ki Suromenggolo menarik
nafas mengucap dua kalimat syahadat.
Niken Gandini pun segera
tanggap menusukkan sadak kinang ke tenggorokannya. Ki Suromenggolo pun wafat.
Jenazahnya dimakamkan
di belakang masjid Kertosari di makam Gedong Kertosari bersama Putri Kuning
sesuai wasiat Bathara Katong untuk selalu mendampinginya.
Untuk Raden Bathara
Katong, Kelima Istri Beliau dan Para Pengikut Setianya, Lahumul Fatihah......
Sumber: Pureowijoyo,
Babad Ponorogo jilid ll