Dampak Kebakaran Los Angeles: Puluhan Rumah di Palisades Terancam Longsor
KALBARNEWS.CO.ID (LOS ANGELES) - Penanganan kebakaran besar yang melanda Los Angeles masih menjadi fokus utama pihak terkait. Kebakaran yang dimulai pada Selasa, 7 Januari 2025, telah menghancurkan lebih dari 13.000 bangunan dan menelan korban jiwa setidaknya 27 orang. Selain itu, 18 orang masih dilaporkan hilang.
Meskipun api sebagian besar berhasil dikendalikan, dampak dari kebakaran ini terus dirasakan. Salah satu ancaman baru yang muncul adalah tanah longsor, khususnya di kawasan Pacific Palisades, di mana rumah-rumah yang selamat dari kobaran api kini menghadapi risiko runtuh akibat ketidakstabilan tanah.
Seorang warga Pacific Palisades, Stephen Edwards, menjadi salah satu korban dampak berkelanjutan dari kebakaran tersebut. Edwards, yang berprofesi sebagai komposer musik, telah kehilangan salah satu rumahnya akibat kebakaran. Namun, masalah tidak berhenti di situ. Rumah lainnya, yang terletak di area yang sama, kini menghadapi ancaman tanah longsor.
Edwards mengungkapkan bahwa sekitar seminggu yang lalu, rumahnya mulai terbelah menjadi dua akibat pergerakan tanah. Longsor tersebut terjadi di tengah proses pemadaman kebakaran yang belum sepenuhnya selesai. Menurutnya, bencana ini terjadi begitu cepat, meninggalkan sedikit waktu untuk mengambil tindakan pencegahan.
Farshid Vahedifard, seorang profesor di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Tufts, menjelaskan alasan di balik fenomena ini. Setelah kebakaran besar seperti yang terjadi di Los Angeles, tanah menjadi tidak stabil karena hilangnya vegetasi yang berfungsi sebagai penahan alami.
“Vegetasi, khususnya akar tanaman, membantu menahan tanah untuk tetap berada di tempatnya,” ujar Vahedifard.
Namun, ketika kebakaran besar menghancurkan vegetasi, tanah di atasnya menjadi gembur dan lebih mudah bergerak. Abu dari kebakaran juga menciptakan lapisan yang menghalangi air masuk ke tanah, membuat air menumpuk di permukaan. Akumulasi air ini kemudian menciptakan jalur aliran yang membawa sisa-sisa kebakaran dan puing-puing ke bawah lereng.
Vahedifard menambahkan bahwa kondisi geologi California Selatan, yang terdiri dari lereng-lereng curam dengan sedimen lepas, semakin meningkatkan risiko tanah longsor.
“Kondisi ini membuat kawasan tersebut rentan terhadap tanah longsor dan aliran puing, terutama jika ada pemicu eksternal seperti kebakaran hutan,” jelasnya.
Biasanya, tanah longsor pasca kebakaran membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk terjadi, tetapi kasus yang dialami Edwards dianggap relatif langka. Vahedifard menjelaskan bahwa longsor cepat seperti ini biasanya dipicu oleh air, baik dari hujan ataupun aktivitas manusia seperti pemadaman kebakaran. Meskipun curah hujan di California Selatan sangat rendah sejak Mei tahun lalu, air yang digunakan untuk memadamkan api kemungkinan menjadi faktor utama pemicu longsor kali ini.
Kapten Departemen Pemadam Kebakaran Los Angeles, Adam VanGerpen, mengungkapkan kekhawatiran serupa. Menurutnya, rumah-rumah yang terletak di area bekas kebakaran adalah yang paling rawan terkena dampak tanah longsor.
“Rumah-rumah yang berada di bekas luka bakar pasca kebakaran adalah yang paling rawan, paling rentan terhadap longsor atau aliran puing di sekitarnya,” ujarnya.
VanGerpen menambahkan bahwa saat musim hujan tiba, risiko tanah longsor akan meningkat secara signifikan. Oleh karena itu, pihaknya berencana untuk bekerja sama dengan ahli geologi untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
“Kita harus meminta ahli geologi untuk melakukan sampel tanah dan memastikan bahwa tanahnya stabil,” tambahnya.
Sementara itu, warga di sekitar area yang terdampak diminta untuk tetap waspada dan mengikuti arahan dari pihak berwenang. Kejadian ini menunjukkan bahwa dampak dari kebakaran besar tidak hanya terbatas pada kehancuran yang disebabkan api, tetapi juga pada risiko jangka panjang seperti tanah longsor yang mengancam keselamatan dan kehidupan masyarakat. (Tim Liputan).
Editor : Lan