Kebijakan Penghematan APBN 2025: Tantangan dan Implikasi bagi Tenaga Kerja

Editor: Redaksi author photo

Kebijakan Penghematan APBN 2025: Tantangan dan Implikasi bagi Tenaga Kerja

KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - 
Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja APBN dan APBD tengah menjalankan langkah penghematan anggaran. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan anggaran negara digunakan secara efektif dan efisien, dengan memangkas pengeluaran yang dianggap tidak mendesak atau tidak memiliki dampak besar terhadap masyarakat.


Namun, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pekerja kontrak non-PNS di sejumlah instansi pemerintah. Beberapa pihak mengkhawatirkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat pengurangan anggaran, terutama bagi tenaga honorer dan pekerja dengan sistem kontrak.


Kepala Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi, menegaskan bahwa tidak ada kebijakan PHK massal akibat efisiensi anggaran. Ia menegaskan bahwa keputusan untuk tidak memperpanjang kontrak pekerja bukanlah bentuk PHK massal, melainkan konsekuensi dari sistem kerja kontrak itu sendiri.


"Namanya pekerja kontrak memang masa kontraknya akan habis. Bila tidak diperpanjang, itu sudah menjadi hak kementerian dan lembaga," ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada arahan dari pemerintah untuk melakukan PHK sebagai akibat dari kebijakan efisiensi anggaran.


Hasan juga menambahkan bahwa kebijakan ini tidak mengganggu layanan publik, meskipun beberapa institusi salah menafsirkan kebijakan dengan memangkas layanan dasar ketimbang belanja yang bersifat tidak mendesak.


"Beberapa institusi ada yang salah menafsirkan Inpres. Mereka tidak mengorbankan belanja lemak, tapi mereka mengorbankan layanan dasar. Itu salah tafsir," katanya.


Hasan mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto sangat cermat dalam menyusun kebijakan efisiensi ini. Menurutnya, Presiden memeriksa secara detail satuan-satuan belanja dalam APBN agar bisa menemukan pengeluaran yang tidak perlu atau kurang berdampak bagi masyarakat.


"Istilahnya itu 'God is in the details', dari memperhatikan hal-hal kecil, dapat dihasilkan sesuatu yang besar. Presiden memeriksa secara detail satuan-satuan belanja dalam APBN, bahkan sambil bercanda bilang beliau memeriksanya sampai satuan sembilan. Jadi sangat detail dan kemudian ditemukan lemak-lemak belanja dalam APBN kita," jelasnya.


Hasil penyisiran anggaran ini menunjukkan bahwa banyak pos belanja yang dianggap tidak substansial dan dapat dihilangkan tanpa berdampak signifikan. Pengeluaran yang dipangkas mencakup pembelian alat tulis kantor (ATK), kegiatan seremonial, kajian dan analisis, perjalanan dinas, serta beberapa pengeluaran lainnya.


"Pesan Presiden jelas, yang diefisienkan adalah belanja yang tidak memiliki dampak besar terhadap masyarakat," tegas Hasan.


Meskipun pemerintah menegaskan tidak ada PHK massal, pemangkasan anggaran tetap berdampak pada beberapa lembaga, termasuk TVRI dan RRI. Kedua lembaga ini terpaksa menghentikan kontrak sejumlah kontributor dan jurnalis daerah akibat pengurangan anggaran operasional mereka.


Anggaran TVRI yang semula Rp1,52 triliun dipangkas menjadi Rp1,06 triliun, sementara anggaran RRI yang awalnya Rp1,07 triliun berkurang Rp170 miliar menjadi Rp899 miliar.


Direktur Utama TVRI, Iman Brotoseno, menegaskan bahwa PHK tidak diberlakukan kepada pegawai ASN, tetapi hanya menghentikan sementara penggunaan jasa kontributor daerah.


"Mana bisa ASN di-PHK? Yang ada, pemakaian jasa kontributor di TVRI daerah disetop dulu," ujar Iman dalam keterangan tertulisnya pada Senin, 10 Februari 2025.


Sementara itu, Direktur Utama RRI juga mengakui bahwa pemangkasan anggaran menyebabkan sejumlah kontributor diberhentikan, meskipun jumlahnya relatif kecil.


"Kalau jumlah kontributor kami itu 979 total, tetapi yang bermasalah paling hanya 10-20 orang," ujarnya saat rapat bersama Komisi VII DPR.


Namun, setelah adanya klarifikasi dan evaluasi, pihak TVRI dan RRI memastikan bahwa mereka akan kembali memanggil para pekerja yang sempat diberhentikan.


"Kami akan menindaklanjuti setelah rapat ini, tidak ada lagi semacam dirumahkan atau pengurangan honor dan hal-hal yang berkaitan dengan pegawai dan kontributor," kata Iman Brotoseno.


Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menilai bahwa kebijakan efisiensi ini memang diperlukan, tetapi pemerintah perlu memberikan penjelasan lebih lanjut kepada masyarakat untuk meredam kegelisahan.


"Menurut saya, tidak ada yang boleh mengatakan ini salah (efisiensi anggaran), yang dilakukan Pak Prabowo juga benar. Tapi harus dijelaskan kepada rakyat agar kegelisahan-kegelisahan bisa mereda dan target kapan situasi ini stabil. Itu menjadi tugas presiden untuk menjelaskan," ujar Mahfud.


Ia juga menyoroti dampak efisiensi ini terhadap tenaga kerja, terutama jika anggaran yang dipangkas berkaitan dengan kebijakan lain seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG).


"Logika-logika penggunaan anggaran untuk keperluan lain juga menjadi pertanyaan. Misalnya, kalau untuk kasih makanan bergizi, tetapi di pihak lain ada PHK karena pengurangan (anggaran) kegiatan, itu kan yang perlu dipikirkan," tambahnya.


Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, mengkritik kebijakan PHK terhadap kontributor TVRI dan RRI.


Menurutnya, keputusan ini memperburuk kondisi ketenagakerjaan media di Indonesia dan dapat berdampak pada kualitas penyiaran.


"Ini makin memperburuk kondisi ketenagakerjaan media massa di Indonesia," kata Nany. 


Ia juga menekankan bahwa pemangkasan anggaran seharusnya tidak diterapkan secara menyeluruh, terutama untuk lembaga yang sudah memiliki anggaran terbatas.


"Pemerintah seharusnya tidak melakukan efisiensi anggaran untuk RRI dan TVRI. Selama ini, anggaran untuk kedua lembaga ini cenderung kecil. Dan bahkan jurnalisnya dibayar rendah," ujarnya.


Nany juga mengingatkan bahwa TVRI dan RRI masih menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat di daerah terpencil. Jika kedua lembaga ini kehilangan banyak kontributornya, akses informasi masyarakat di wilayah tersebut bisa terganggu.


Kebijakan efisiensi anggaran ini masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Sementara pemerintah menegaskan bahwa tidak ada PHK massal, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya pemutusan kontrak bagi sejumlah pekerja, terutama di sektor media. Transparansi dan komunikasi yang lebih baik dari pemerintah diperlukan agar kebijakan ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. (Tim Liputan).

Editor : Lan

Share:
Komentar

Berita Terkini