Isu Pertamax Oplosan Memanas, Masyarakat Desak Transparansi

Editor: Redaksi author photo

Isu Pertamax Oplosan Memanas, Masyarakat Desak Transparansi

KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - 
Media sosial tengah memanas dengan berbagai diskusi yang dipicu oleh isu dugaan Pertamax oplosan. Masyarakat menyoroti perbedaan spesifikasi bahan bakar yang diduga telah diubah dan dijual di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) resmi milik Pertamina.


Isu ini semakin mencuat setelah Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, yang diduga terlibat dalam pengadaan dan distribusi bahan bakar yang tidak sesuai spesifikasi.


Menurut Kejagung, skandal korupsi yang terjadi selama periode 2018 hingga 2023 ini telah merugikan keuangan negara hingga Rp193,7 triliun.


Berdasarkan hasil penyelidikan, Riva Siahaan dituduh membeli bahan bakar dengan spesifikasi RON 92 atau Pertamax, tetapi dalam praktiknya justru membeli bahan bakar dengan spesifikasi lebih rendah, yaitu RON 90 atau Pertalite. Kemudian, bahan bakar tersebut diolah kembali melalui proses blending sebelum akhirnya dijual kembali sebagai Pertamax.


Karena itulah muncul dugaan bahwa Pertamax yang beredar di masyarakat merupakan hasil oplosan dari Pertalite yang telah diubah spesifikasinya. Beredarnya informasi ini tentu menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat, terutama mereka yang selama ini setia menggunakan bahan bakar dengan oktan lebih tinggi untuk kendaraannya.


Menanggapi isu yang berkembang, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, membantah bahwa ada praktik oplosan dalam penjualan Pertamax kepada masyarakat. Fadjar menegaskan bahwa bahan bakar yang dijual telah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Dirjen Migas).


Menanggapi bantahan dari Pertamina, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyatakan bahwa BBM yang saat ini beredar di masyarakat tidak berkaitan dengan kasus yang sedang diusut oleh Kejagung. Harli menjelaskan bahwa kasus ini terjadi pada periode 2018 hingga 2023, sehingga minyak yang digunakan saat ini berbeda dengan minyak yang menjadi objek penyelidikan.


Menurut Harli, pembayaran yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga menggunakan harga RON 92, tetapi barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibeli. Karena minyak adalah barang habis pakai, maka stok BBM yang ada saat ini sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.


Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh orang tersangka, yaitu Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Sani Dinar Saifuddin selaku Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim, serta Gading Ramadhan Joedo selaku Komisaris PT Jengga Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak Gading.


Meskipun Kejaksaan Agung dan Pertamina telah memberikan klarifikasi, masyarakat tetap merasa dirugikan oleh dugaan kasus ini.


Banyak konsumen yang mengeluhkan harga bahan bakar yang semakin mahal, terutama bagi mereka yang sehari-harinya bergantung pada kendaraan untuk bekerja, seperti pengemudi ojek, pedagang keliling, hingga pengusaha kecil.


Salah satu warga yang mengeluhkan hal ini adalah Tre Ikhwan, seorang pedagang kopi di Cilamaya Wetan, Karawang. Tre mengaku sering mengantre panjang di SPBU hanya untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Setelah mendengar isu dugaan Pertamax oplosan, ia merasa kecewa dan menilai antrean panjang yang selama ini dijalaninya menjadi sia-sia.


Selain itu, Aji Setiawan, seorang penjual es krim keliling di Karawang, juga menyampaikan keluhannya. Ia menyatakan bahwa kasus ini berdampak besar pada pelaku usaha kecil yang sangat bergantung pada BBM untuk menjalankan bisnis mereka.


Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI), Mufti Mubarok, menegaskan bahwa kasus ini telah mencederai hak konsumen dan meminta agar Kejaksaan Agung mengusut tuntas perkara ini.


BPKN juga meminta Pertamina untuk lebih transparan dalam memberikan informasi kepada masyarakat terkait kualitas BBM yang dijual serta memastikan sistem pengawasan yang lebih ketat agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. (Tim Liputan).

Editor : Lan

Share:
Komentar

Berita Terkini