Kasus Korupsi di Pertamina: Kerugian Negara Capai Rp193,7 Triliun

Editor: Redaksi author photo

Kasus Korupsi di Pertamina: Kerugian Negara Capai Rp193,7 Triliun

KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - 
Berita mengenai dugaan pengoplosan Pertamax di SPBU resmi milik Pertamina masih ramai diperbincangkan di berbagai kalangan masyarakat. Banyak warganet mengungkapkan keluh kesah mereka di media sosial, mengaku merasa ditipu karena membeli bahan bakar dengan harga Pertamax, tetapi yang mereka dapatkan justru Pertalite. Hal ini memicu kekecewaan, terutama bagi mereka yang secara sadar memilih menggunakan Pertamax agar tidak membebani subsidi BBM yang diberikan pemerintah untuk Pertalite.


Kekecewaan yang dirasakan masyarakat tidak hanya karena aspek finansial, tetapi juga karena kepercayaan mereka terhadap kualitas bahan bakar yang dijual di SPBU Pertamina. Sejumlah pengguna kendaraan mulai merasakan perubahan pada performa mesin mereka setelah mengisi bahan bakar yang diduga telah dicampur. Beberapa pengendara mengeluhkan akselerasi kendaraan yang terasa lebih berat dari biasanya, konsumsi bahan bakar yang lebih boros, hingga munculnya suara-suara aneh dari mesin kendaraan mereka. Situasi ini semakin memperkuat kecurigaan bahwa kualitas BBM yang mereka beli memang tidak sesuai dengan spesifikasi yang seharusnya.


Menanggapi isu ini, pihak Pertamina telah memberikan klarifikasi dan menegaskan bahwa bahan bakar yang mereka distribusikan sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas). Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyatakan bahwa narasi mengenai pengoplosan Pertamax tidak sesuai dengan temuan penyidik di Kejaksaan Agung. Menurutnya, Kejaksaan lebih mempermasalahkan mekanisme pembelian RON 90 dan RON 92 oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini, bukan praktik pengoplosan yang terjadi di lapangan.


Pernyataan ini seolah ingin meluruskan bahwa yang menjadi inti permasalahan bukanlah distribusi BBM yang telah dioplos di SPBU, melainkan adanya dugaan permainan dalam proses pembelian dan pengadaan bahan bakar itu sendiri. Namun, masyarakat tetap menuntut transparansi yang lebih besar agar tidak ada pihak yang dirugikan, terutama mereka yang telah membayar lebih mahal untuk bahan bakar dengan kualitas lebih baik.


Presiden Prabowo Subianto turut angkat bicara mengenai skandal korupsi yang terjadi di tubuh Pertamina. Ia memastikan bahwa pemerintah akan segera mengurus dan menindak tegas para pelaku yang terlibat dalam kasus ini. Menurutnya, penegakan hukum adalah langkah mutlak yang harus dilakukan demi kepentingan rakyat, agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang. Presiden menegaskan bahwa pemerintahannya akan membersihkan institusi dari praktik-praktik yang merugikan masyarakat dan negara.


Komitmen Prabowo untuk menciptakan pemerintahan yang bersih sebenarnya telah ia sampaikan sejak awal kepemimpinannya. Dalam peringatan Hari Lahir Nahdlatul Ulama (NU) ke-102 di Istora Senayan, Jakarta, ia menyampaikan pesan kepada seluruh pejabat negara untuk berani melakukan introspeksi dan membangun pemerintahan yang bebas dari korupsi serta penyelewengan. Prabowo menegaskan bahwa tidak akan ada toleransi terhadap praktik korupsi, dan ia meminta agar setiap institusi membersihkan diri sebelum dipaksa untuk dibersihkan oleh aparat penegak hukum.


Kejaksaan Agung telah membongkar skandal dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang terjadi dalam kurun waktu 2018 hingga 2023. Dalam pengungkapan kasus ini, Kejaksaan menetapkan tujuh tersangka yang bertanggung jawab atas kerugian negara yang mencapai Rp193,7 triliun. Angka tersebut berasal dari berbagai aspek, termasuk kerugian akibat ekspor minyak mentah dalam negeri, impor minyak mentah dan BBM melalui perantara yang tidak sah, serta pemberian subsidi dan kompensasi yang tidak sesuai dengan mekanisme yang seharusnya.


Salah satu tersangka utama dalam kasus ini adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. Ia diduga telah melakukan manipulasi dalam pembelian bahan bakar dengan mengklaim pembelian RON 92 atau Pertamax, padahal yang dibeli sebenarnya adalah RON 90 atau Pertalite. Bahan bakar dengan oktan lebih rendah itu kemudian diolah sedemikian rupa sehingga menyerupai Pertamax, sebelum akhirnya dijual dengan harga yang lebih tinggi. Modus seperti ini tidak hanya merugikan negara dalam hal finansial, tetapi juga merugikan masyarakat yang telah membayar lebih mahal untuk kualitas bahan bakar yang lebih baik.


Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa tindakan Riva Siahaan melibatkan berbagai pihak dalam rantai pengadaan bahan bakar. Tujuh orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini adalah:


  1. Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
  2. Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
  3. Sani Dinar Saifuddin, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
  4. Agus Purwono, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
  5. Muhammad Kerry Andrianto Riza, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa
  6. Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim
  7. Gading Ramadhan Joedo, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak


Kerugian negara dalam kasus ini terperinci sebagai berikut:


  • Kerugian akibat ekspor minyak mentah dalam negeri: Rp35 triliun
  • Kerugian dari impor minyak mentah melalui perantara tidak sah: Rp2,7 triliun
  • Kerugian dari impor BBM melalui perantara tidak sah: Rp9 triliun
  • Kerugian akibat pemberian kompensasi BBM tahun 2023: Rp126 triliun
  • Kerugian akibat subsidi BBM tahun 2023: Rp21 triliun


Kasus ini menunjukkan betapa besarnya dampak praktik korupsi di sektor energi bagi negara dan masyarakat. Kerugian finansial yang mencapai ratusan triliun rupiah tidak hanya berdampak pada anggaran negara, tetapi juga berpengaruh langsung terhadap harga dan kualitas BBM yang dikonsumsi oleh rakyat. Masyarakat berharap agar proses hukum terhadap para pelaku dapat berjalan secara transparan dan adil, serta memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan dengan cara yang tidak sah.


Ke depan, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pengawasan terhadap distribusi dan pengadaan bahan bakar, serta memastikan bahwa kebijakan energi yang diterapkan benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat. Skandal seperti ini menjadi pengingat bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam adalah hal yang mutlak untuk mencegah potensi penyelewengan yang merugikan negara dan masyarakat luas. (Tim Liputan).

Editor : Lan

Share:
Komentar

Berita Terkini