Kejagung Ungkap Praktik Blending Ilegal di Pertamina: Mahfud MD Beri Apresiasi
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Kasus korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi Pertamina terus menjadi sorotan publik. Besarnya kerugian negara akibat tindakan ini hampir mencapai Rp968,5 triliun, menjadikannya salah satu skandal terbesar dalam sejarah industri migas di Indonesia. Skandal ini tidak hanya mencoreng citra Pertamina sebagai perusahaan energi milik negara, tetapi juga berdampak luas terhadap kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola sektor energi nasional.
Penyelidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap adanya praktik 'pengoplosan' atau blending dalam produksi Pertamax. Temuan ini diperoleh dari alat bukti yang dikumpulkan tim penyidik, termasuk dokumen internal, rekaman transaksi, dan kesaksian dari sejumlah pihak terkait. Dua tersangka utama dalam kasus ini adalah MK, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga, serta EC, VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga. Mereka diduga menjadi aktor utama dalam skema pengoplosan BBM yang merugikan negara dalam jumlah fantastis.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Abdul Qohar, menanggapi pernyataan PT Pertamina yang sebelumnya menegaskan tidak ada pengoplosan BBM Pertamax. Perusahaan pelat merah tersebut mengklaim bahwa kualitas Pertamax tetap sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah, yakni RON 92. Namun, hasil penyelidikan Kejagung membuktikan sebaliknya.
"Penyidik menemukan bahwa ada RON 90 (setara Pertalite) atau bahkan di bawahnya, yaitu RON 88, yang dicampur dengan RON 92. Jadi, ada praktik blending yang tidak sesuai dengan standar," jelas Qohar dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (26/02). Ia menegaskan bahwa temuan ini didukung oleh uji laboratorium independen serta bukti-bukti transaksi yang menunjukkan adanya manipulasi dalam pengadaan dan distribusi BBM.
Selain itu, dua tersangka juga diduga mengetahui dan menyetujui praktik mark-up atau penggelembungan harga kontrak pengiriman yang dilakukan oleh tersangka JF. Modus ini dilakukan dengan memanipulasi kontrak pengangkutan minyak mentah, sehingga Pertamina harus mengeluarkan fee tambahan sebesar 13% hingga 15%. Menurut Qohar, tindakan ini jelas merupakan bentuk "melawan hukum" yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dan pihak tertentu. Uang hasil penggelembungan tersebut kemudian mengalir ke beberapa tersangka lainnya, termasuk MKAR dan DW.
Lebih lanjut, Kejagung mengungkap bahwa pengoplosan minyak mentah RON 92 dilakukan di terminal milik tersangka MKAR. Terminal PT Orbit Terminal Merak, yang dimiliki bersama oleh Kerry dan tersangka GRJ, menjadi lokasi utama praktik ilegal ini. Kejagung saat ini sedang melakukan penyitaan terhadap berbagai aset yang berkaitan dengan kasus ini guna mengamankan barang bukti dan memitigasi kerugian negara lebih lanjut.
Dalam pengungkapan kasus ini, mantan Menteri Hukum dan HAM, Mahfud MD, memberikan apresiasi kepada Kejagung atas keberaniannya membongkar skandal besar ini. Ia menilai pemerintah telah menunjukkan kinerja yang baik dalam menangani kasus ini, dan langkah tegas yang diambil menunjukkan komitmen dalam memberantas korupsi di sektor energi.
"Kejaksaan Agung tidak akan seberani itu kalau tidak dapat izin dari presiden. Maka saya apresiasi presiden membiarkan Kejaksaan Agung bekerja," ujar Mahfud saat seminar hukum di Universitas Slamet Riyadi Surakarta, Solo, Jawa Tengah, Kamis (27/02/2025).
Mahfud menegaskan bahwa terlepas dari berbagai kemungkinan motif di balik pengungkapan kasus ini, yang terpenting adalah hukum ditegakkan dengan baik.
"Apapun motifnya, kalau ada motif politik ya terserah, tapi hukum tegak seperti itu," imbuhnya.
Ia menekankan pentingnya konsistensi dalam penegakan hukum agar tidak ada pihak yang kebal dari proses hukum.
Ia juga menyoroti kinerja Kejagung yang terus meningkat sejak 2022 hingga 2024. Menurutnya, Kejagung selalu mendapatkan penilaian terbaik, terutama jika diberi kesempatan dan perlindungan untuk bertindak. Hal ini menunjukkan bahwa dengan dukungan yang cukup, institusi penegak hukum dapat bekerja secara independen dan profesional.
"Itu permulaan dari langkah selanjutnya yang akan dilakukan dan perlu dilakukan oleh presiden. Kita tunggu," tambah Mahfud. Ia berharap kasus ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk mereformasi tata kelola energi agar lebih transparan dan bebas dari korupsi.
Kasus ini mulai terungkap setelah adanya keluhan masyarakat di beberapa daerah terkait buruknya kualitas Pertamax. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Sirega, mengungkapkan bahwa laporan awal datang dari warga Papua dan Palembang.
"Kalau ingat, di beberapa peristiwa, ada di Papua dan Palembang terkait soal dugaan kandungan minyak yang katakanlah jelek. Ini kan pernah mendapatkan respons luas dari masyarakat bahwa mengapa kandungan terhadap Pertamax misalnya yang dinilai kok begitu jelek," ujar Harli.
Menindaklanjuti laporan tersebut, Kejagung kemudian melakukan investigasi dan mengumpulkan data dari berbagai sumber. Dari hasil penyelidikan, ditemukan bahwa kenaikan harga Pertamax serta besarnya subsidi dari pemerintah berkaitan dengan praktik ilegal di dalam tubuh Pertamina. Investigasi lebih lanjut mengungkap adanya jaringan luas yang terlibat dalam skema korupsi ini, termasuk perusahaan-perusahaan yang menjadi mitra Pertamina.
"Sampai pada akhirnya ada keterkaitan dengan hasil-hasil yang ditemukan di lapangan dengan kajian-kajian yang tadi terkait misalnya kenapa harga BBM harus naik. Ternyata kan ada beban-beban pemerintah yang harusnya tidak perlu," jelas Harli.
Temuan ini semakin memperkuat dugaan bahwa skandal ini tidak hanya dilakukan oleh individu-individu tertentu, tetapi juga melibatkan jaringan yang lebih besar di dalam industri migas.
Lebih lanjut, temuan ini mengarah pada dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah di Pertamina Patra Niaga.
"Karena ada sindikasi yang dilakukan oleh para tersangka ini, akhirnya negara harus mengemban beban kompensasi dan subsidi yang begitu besar," pungkasnya.
Oleh karena itu, Kejagung terus melakukan pendalaman agar semua pihak yang terlibat dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
Dengan semakin banyaknya fakta yang terungkap, kasus ini menunjukkan bagaimana praktik korupsi dapat berdampak luas pada ekonomi negara dan kesejahteraan masyarakat. Kejagung berkomitmen untuk mengusut tuntas skandal ini dan memastikan bahwa sistem hukum berjalan dengan adil. Publik pun menantikan langkah lanjutan dari pemerintah dalam memastikan kasus ini tidak hanya berhenti pada level individu, tetapi juga membawa perubahan sistemik dalam tata kelola energi nasional. (Tim Liputan).
Editor : Lan