Kontroversi Revisi UU Polri: Publik Minta Transparansi
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Dalam waktu dekat, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana membahas dan mengesahkan Revisi Undang-Undang (UU) Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Keputusan ini muncul setelah DPR lebih dahulu mengesahkan Revisi UU Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang menimbulkan kekhawatiran terkait potensi kembalinya dwifungsi TNI. Beberapa pengamat menilai bahwa revisi terhadap kedua institusi pertahanan dan keamanan ini bisa berpengaruh terhadap keseimbangan demokrasi di Indonesia.
Meski demikian, Komisi III DPR menyatakan bahwa saat ini pihaknya masih memprioritaskan pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika revisi UU Polri dianggap mendesak, pembahasannya akan dilakukan kemudian setelah prioritas utama legislasi lainnya terselesaikan.
Ketua DPR Puan Maharani mengonfirmasi bahwa hingga saat ini, belum ada pembahasan resmi mengenai revisi UU Polri. Ia juga menegaskan bahwa pihaknya belum menerima Surat Presiden (Surpres) yang menjadi dasar legislator untuk memulai proses tersebut. Surpres merupakan dokumen yang dikirimkan oleh Presiden kepada DPR sebagai bentuk persetujuan awal dalam membahas suatu rancangan undang-undang.
Senada dengan Puan, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa meskipun wacana revisi UU Polri sempat muncul, tidak ada rencana untuk membahasnya dalam waktu dekat.
"DPR belum berencana melakukan revisi UU Polri," kata Dasco kepada Tempo, Senin, 24 Maret 2025.
Meskipun belum masuk agenda pembahasan, revisi UU Polri sebenarnya telah dirancang sejak 2024 sebagai bagian dari RUU inisiatif DPR. Draf revisi UU tersebut telah mendapatkan beragam tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, organisasi masyarakat sipil, hingga tokoh politik.
Berdasarkan draf yang diterima Tempo, terdapat sejumlah pasal dalam RUU Polri yang menuai perdebatan. Salah satu yang disorot adalah Pasal 16 ayat 1 huruf q. Pasal ini mengatur kewenangan Polri untuk melakukan penindakan, pemblokiran, atau pemutusan akses di ruang siber demi menjaga keamanan dalam negeri.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai bahwa kewenangan ini berisiko membatasi kebebasan berpendapat masyarakat. Selain itu, kewenangan tersebut juga dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan tugas Kementerian Komunikasi dan Digital serta Badan Siber dan Sandi Negara. "Jika Polri diberikan wewenang yang terlalu luas dalam menangani isu siber, hal ini berpotensi menciptakan penyalahgunaan kekuasaan yang bisa menghambat kebebasan berekspresi," ujar seorang aktivis dari koalisi tersebut.
Selain itu, pasal lain yang menuai kritik adalah Pasal 14 ayat 1 huruf g, yang menyatakan bahwa Polri memiliki tugas untuk mengkoordinasikan, mengawasi, dan membina secara teknis kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lainnya yang ditetapkan oleh UU, serta bentuk pengamanan swakarsa. Beberapa pihak khawatir bahwa penguatan peran Polri dalam bidang ini dapat memperluas kewenangan kepolisian hingga ke sektor-sektor yang sebelumnya tidak sepenuhnya berada dalam kendalinya.
Pasal 16A juga mendapat perhatian karena memberikan wewenang kepada Polri untuk menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam sebagai bagian dari kebijakan nasional. Hal ini memunculkan kekhawatiran terkait perluasan fungsi intelijen kepolisian yang bisa berdampak pada ranah sipil. Para pengamat menilai bahwa ketentuan ini berpotensi memberikan keleluasaan bagi Polri dalam melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap warga negara, yang berpotensi melanggar hak privasi dan kebebasan sipil.
Tak hanya itu, usulan perpanjangan batas usia pensiun bagi anggota Polri juga dipersoalkan. Dalam draf RUU Polri Pasal 30 ayat 2, usia pensiun anggota Polri diusulkan menjadi 60 tahun, sedangkan bagi anggota dengan keahlian khusus yang masih dibutuhkan diperpanjang hingga 62 tahun. Sementara itu, bagi pejabat fungsional, usia pensiun bisa mencapai 65 tahun. Beberapa pihak menilai bahwa perpanjangan usia pensiun ini dapat menghambat regenerasi dalam institusi Polri dan mengurangi kesempatan bagi perwira muda untuk naik ke posisi kepemimpinan.
Sebelumnya, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyampaikan penolakan terhadap revisi UU Polri ini. Menurutnya, DPR dan pemerintah seharusnya lebih dulu menyelesaikan pembahasan RUU yang lebih mendesak, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, serta RUU Masyarakat Adat.
"Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini," tegas Isnur pada Minggu, 23 Maret 2025 lalu. Ia menambahkan bahwa revisi ini sebaiknya dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik yang lebih luas agar tidak menimbulkan polemik di kemudian hari.
Publik berharap agar DPR tidak terburu-buru dalam membahas revisi UU Polri dan lebih dulu mempertimbangkan dampak dari setiap perubahan regulasi yang diusulkan. Transparansi dalam proses legislasi pun menjadi tuntutan utama agar undang-undang yang disusun tidak merugikan hak-hak masyarakat sipil. Selain itu, desakan untuk mengutamakan reformasi kepolisian yang lebih mendasar juga semakin kuat, dengan harapan bahwa perubahan yang dilakukan benar-benar dapat meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas institusi kepolisian di Indonesia. (Tim Liputan).
Editor : Lan