LPSK Soroti Putusan Pengadilan Militer yang Bebaskan Terdakwa dari Kewajiban Restitusi
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Tuntutan restitusi atau ganti rugi yang diajukan keluarga korban dalam kasus penembakan bos rental mobil oleh tiga oknum TNI Angkatan Laut akhirnya ditolak oleh Pengadilan Militer. Keputusan ini diambil dalam sidang yang digelar di Pengadilan Militer II-08 Jakarta pada Selasa, 25 Maret 2025.
Majelis hakim memutuskan menolak permohonan restitusi yang diajukan oleh oditur militer, yang sebelumnya menuntut agar para terdakwa membayar ganti rugi dalam jumlah yang cukup besar kepada keluarga korban.
Tiga terdakwa dalam kasus ini, yaitu Kelasi Kepala (Klk) Bambang Apri Atmojo, Sertu Akbar Adli, dan Sertu Rafsin Hermawan, sebelumnya dituntut untuk membayar restitusi dalam jumlah ratusan juta rupiah.
Berdasarkan tuntutan yang diajukan oditur militer, Bambang diwajibkan membayar Rp209 juta kepada keluarga Ilyas Abdul Rahman, korban yang meninggal dunia, serta Rp146 juta kepada keluarga Ramli, korban luka dalam insiden tersebut. Sementara itu, Akbar dituntut membayar Rp147 juta untuk keluarga Ilyas dan Rp73 juta untuk keluarga Ramli. Adapun Rafsin juga diminta membayar restitusi sebesar Rp147 juta kepada keluarga Ilyas dan Rp73 juta kepada keluarga Ramli.
Namun, setelah mempertimbangkan beberapa faktor, majelis hakim akhirnya menolak tuntutan restitusi tersebut. Salah satu alasan utama yang dijadikan pertimbangan adalah bahwa para terdakwa telah dijatuhi hukuman berat atas perbuatan mereka. Ketiga terdakwa telah dipecat dari satuan TNI AL, serta dijatuhi hukuman penjara.
Bambang dan Akbar menerima vonis hukuman penjara seumur hidup, sedangkan Rafsin divonis hukuman penjara selama empat tahun.
Selain itu, majelis hakim juga mempertimbangkan kondisi finansial ketiga terdakwa. Berdasarkan penilaian pengadilan, kondisi keuangan mereka dianggap tidak memungkinkan untuk melunasi jumlah restitusi yang dituntut oleh oditur militer.
Keputusan ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak, termasuk dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, yang turut hadir dalam persidangan, menyatakan bahwa kondisi keuangan para terdakwa seharusnya tidak menjadi pertimbangan utama dalam memutuskan perkara restitusi.
“Terdakwa sudah dihukum maksimal, saya kira perlu pertimbangan lagi karena memang selama ini korban sangat sulit, sangat minim untuk mendapatkan hak atas restitusi karena mempertimbangkan situasi dan kondisi pelaku,” kata Sri kepada awak media usai persidangan.
Menurutnya, pemberian restitusi kepada korban seharusnya tidak hanya bergantung pada kemampuan terdakwa untuk membayar, melainkan harus dihitung berdasarkan kerugian yang dialami korban. Ia menegaskan bahwa penolakan restitusi dapat berdampak pada akses keadilan bagi korban dan keluarga mereka.
“Semestinya gitu, hitung dulu kerugiannya, restitusi yang harus dibayarkan, kalau nanti ternyata terdakwanya tidak mampu membayar itu persoalan lain,” imbuhnya.
Selain sebagai bentuk pemulihan bagi korban, menurut Sri, pelaksanaan restitusi juga memiliki dampak psikologis yang penting. Ia menyatakan bahwa kebijakan ini dapat memberikan efek jera kepada pelaku, serta menjadi bentuk tanggung jawab hukum yang lebih konkret atas tindakan yang dilakukan.
Meskipun menghormati keputusan Pengadilan Militer, LPSK menegaskan bahwa pihaknya akan terus berkoordinasi dengan oditur militer untuk memperjuangkan hak restitusi bagi keluarga korban. Sri menyatakan bahwa pihaknya akan mencari alternatif solusi agar korban dan keluarga tetap mendapatkan hak-hak mereka sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan adanya keputusan ini, publik kembali menyoroti pentingnya mekanisme restitusi dalam sistem peradilan militer, terutama dalam kasus yang melibatkan tindak kekerasan oleh aparat negara terhadap warga sipil. Keputusan ini juga memicu diskusi mengenai tanggung jawab negara dalam memberikan kompensasi kepada korban kejahatan yang dilakukan oleh anggotanya.
Keluarga korban sendiri masih berharap adanya jalan keluar agar mereka tetap mendapatkan hak atas ganti rugi yang seharusnya mereka terima. Mereka menyayangkan keputusan pengadilan, namun tetap berupaya mencari jalur hukum lain guna mendapatkan keadilan.
Sementara itu, pihak TNI AL sebelumnya telah memberikan santunan kepada keluarga korban. Untuk keluarga Ilyas, TNI AL memberikan santunan sebesar Rp100 juta, sedangkan untuk keluarga Ramli yang mengalami luka tembak, diberikan santunan sebesar Rp35 juta.
Meski demikian, pihak keluarga korban menilai bahwa santunan tersebut berbeda dengan restitusi yang seharusnya menjadi tanggung jawab hukum dari para pelaku. Mereka berharap ada keputusan lebih lanjut yang dapat memastikan hak mereka tetap terpenuhi.
Keputusan Pengadilan Militer ini tentu akan menjadi preseden dalam kasus-kasus serupa di masa mendatang. Bagaimana tindak lanjutnya, kini menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil yang terus mengawal hak-hak korban dalam proses peradilan. (Tim Liputan).
Editor : Lan