RUU Polri Tuai Polemik, DPR Pastikan Belum Ada Pembahasan Resmi

Editor: Redaksi author photo

RUU Polri Tuai Polemik, DPR Pastikan Belum Ada Pembahasan Resmi

KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) -
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menegaskan bahwa hingga saat ini, belum ada pembahasan mengenai Revisi Undang-Undang (RUU) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di DPR RI periode 2024-2029. Pernyataan ini disampaikannya sebagai tanggapan atas beredarnya berbagai informasi mengenai rancangan revisi UU Polri yang telah memicu kekhawatiran di tengah masyarakat.


Ia juga memastikan bahwa draf naskah dan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Polri yang beredar di media sosial bukan dokumen resmi yang berasal dari DPR RI atau pemerintah.


“Jadi kalau sudah ada DIM yang beredar, itu bukan DIM resmi. Itu kami tegaskan,” ujar Puan saat ditemui di Gedung DPR RI, Selasa 25 Maret 2025.


Dalam kesempatan yang sama, Puan juga menyatakan bahwa DPR belum menerima surat presiden (Surpres) terkait RUU Polri dari pemerintah.


“Surpres RUU Polri saya tegaskan sampai saat ini belum diterima pimpinan DPR. Jadi yang beredar di publik atau beredar di masyarakat itu bukan surpres resmi,” kata Puan.


Munculnya kekhawatiran publik terhadap RUU Polri semakin meningkat setelah DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Beberapa pihak menilai bahwa langkah ini bisa berpotensi menambah kewenangan institusi negara dalam ranah sipil tanpa adanya kontrol yang memadai. Isu ini ramai diperbincangkan di media sosial, bahkan muncul tagar #TolakRUUPolri di platform X (Twitter), yang menjadi ajang bagi masyarakat untuk mengungkapkan keresahan mereka.


Sejumlah warganet menyoroti pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU Polri, yang sebelumnya sempat dibahas oleh DPR RI periode 2019-2024 tetapi gagal disahkan hingga akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kekhawatiran publik semakin bertambah setelah beredarnya sebuah dokumen yang disebut sebagai Surpres bernomor R-13/Pres/02/2025, yang diklaim ditandatangani langsung oleh Presiden Prabowo Subianto pada 13 Februari 2025. Namun, keabsahan dokumen ini masih dipertanyakan, mengingat pimpinan DPR sendiri telah menegaskan bahwa hingga saat ini, belum menerima surpres resmi.


Pembahasan RUU Polri sebenarnya telah dimulai sejak DPR RI periode 2019-2024, tetapi gagal disahkan akibat berbagai pertimbangan, termasuk penolakan dari kelompok masyarakat sipil. Beberapa perubahan dalam RUU Polri yang menjadi sorotan publik dinilai berisiko terhadap hak-hak dasar masyarakat, terutama yang berkaitan dengan kebebasan sipil dan ruang demokrasi di Indonesia. Beberapa poin yang paling mendapat kritik adalah:


  • Penambahan kewenangan Polri dalam ruang siber

    Pasal 16 ayat 1 huruf q dalam draf RUU Polri mengatur bahwa Polri memiliki wewenang untuk melakukan penindakan, pemblokiran, pemutusan, dan memperlambat akses di ruang siber dengan alasan keamanan dalam negeri. Pasal ini menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi di internet.

  • Kewenangan penyadapan oleh Polri

    Revisi UU Polri juga memperluas wewenang Polri untuk melakukan penyadapan tanpa mekanisme pengawasan yang ketat. Hal ini dikhawatirkan dapat melanggar hak privasi masyarakat dan berpotensi digunakan untuk mengawasi kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintah.

  • Perpanjangan usia pensiun anggota Polri

    Dalam draf yang beredar, terdapat ketentuan yang membuka peluang bagi Kapolri dan perwira tinggi berpangkat jenderal untuk tetap bertugas lebih lama sebelum memasuki masa pensiun. Jika sebelumnya usia pensiun anggota Polri adalah 58 tahun, revisi UU ini memungkinkan perpanjangan usia pensiun hingga 60 tahun, dan bagi perwira dengan keahlian khusus bisa diperpanjang hingga 62 tahun. Bagi pejabat fungsional, usia pensiun bahkan bisa mencapai 65 tahun. Ketentuan ini dinilai dapat menghambat regenerasi di tubuh Polri dan memperpanjang masa jabatan perwira tinggi tertentu tanpa mekanisme evaluasi yang jelas.


Selain ketiga poin utama di atas, terdapat pula berbagai ketentuan lain dalam draf RUU Polri yang dianggap berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia. Sejumlah organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis hak asasi manusia telah menyerukan agar pemerintah dan DPR lebih transparan dalam membahas perubahan UU ini.


Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, turut menyuarakan penolakannya terhadap revisi UU Polri ini. Menurutnya, DPR dan pemerintah seharusnya lebih dulu menyelesaikan pembahasan RUU yang lebih mendesak dan memiliki manfaat langsung bagi masyarakat, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), RUU Perampasan Aset, RUU KUHAP, RUU Penyadapan, serta RUU Masyarakat Adat.


“Kami menolak keras revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR ini. Perubahan kebijakan yang menyangkut keamanan dalam negeri harus dibahas dengan melibatkan publik dan mempertimbangkan aspek demokrasi serta hak asasi manusia,” tegas Isnur dalam konferensi pers pada Minggu, 23 Maret 2025.


Publik berharap agar DPR tidak terburu-buru dalam membahas revisi UU Polri dan lebih dulu mempertimbangkan dampak dari setiap perubahan regulasi yang diusulkan. Banyak pihak menilai bahwa proses legislasi harus dilakukan secara terbuka, dengan mendengar masukan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, pakar hukum, serta organisasi masyarakat sipil.


Dengan semakin besarnya tekanan publik terhadap rencana revisi UU Polri, pemerintah dan DPR diharapkan untuk lebih berhati-hati dalam mengambil langkah. Transparansi dalam proses legislasi pun menjadi tuntutan utama agar undang-undang yang disusun tidak merugikan hak-hak masyarakat sipil dan tetap sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis. (Tim Liputan).

Editor : Lan

Share:
Komentar

Berita Terkini