Skandal Korupsi di OKU: Anggaran PUPR Naik Drastis, KPK Tetapkan Sejumlah Pejabat sebagai Tersangka
KALBARNEWS.CO.ID (SUMATERA SELATAN) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan sejumlah pejabat DPRD sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan (Sumsel). Kasus ini mencuat setelah KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Sabtu, 15 Maret 2025, yang mengungkap adanya praktik suap dalam pengelolaan proyek infrastruktur di daerah tersebut.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, pada Minggu, 16 Maret 2025, menjelaskan bahwa para anggota DPRD OKU meminta jatah pokok pikiran (pokir) senilai Rp40 miliar dari proyek PUPR. Permintaan jatah tersebut dilakukan saat pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) OKU pada Januari 2025.
Dalam pembahasan itu, perwakilan DPRD bertemu dengan pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) OKU agar RAPBD dapat disahkan. Dalam pertemuan tersebut, perwakilan DPRD diduga meminta jatah pokir yang sebelumnya telah menjadi praktik berulang. Setyo menjelaskan bahwa kesepakatan akhirnya dicapai dengan mengubah jatah pokir menjadi proyek fisik di Dinas PUPR senilai Rp40 miliar.
"Pada pembahasan tersebut, perwakilan dari DPRD meminta jatah pokir, seperti yang diduga sudah dilakukan sebelumnya," ujar Setyo.
"Kemudian, disepakati bahwa jatah pokir tersebut diubah menjadi proyek fisik di Dinas PUPR dengan total nilai sebesar Rp40 miliar," tambahnya.
Lebih lanjut, Setyo mengungkapkan bahwa proyek untuk pokir ketua dan wakil ketua DPRD ditetapkan senilai Rp5 miliar, sementara nilai pokir untuk setiap anggota DPRD mencapai Rp1 miliar.
Namun, karena keterbatasan anggaran, nilai pokir akhirnya dikurangi menjadi Rp35 miliar. Meskipun begitu, imbalan atau fee bagi anggota DPRD tetap ditetapkan sebesar 20 persen dari proyek yang ada di Dinas PUPR.
Sebagai konsekuensi dari persetujuan RAPBD, anggaran untuk Dinas PUPR OKU tahun anggaran 2025 mengalami peningkatan signifikan, dari Rp48 miliar menjadi Rp96 miliar. Setelah pengesahan anggaran, Kepala Dinas PUPR OKU, Norpiansyah (NOP), yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka, bergerak menawarkan sembilan proyek kepada pihak swasta dengan komitmen imbalan sebesar 20 persen untuk anggota DPRD dan 2 persen untuk Dinas PUPR.
"Saat itu Saudara NOP yang merupakan Pejabat Kepala Dinas PUPR menawarkan 9 proyek tersebut," jelas Setyo.
"(Penawaran proyek PUPR) Kepada Saudara MFZ (M Fauzi) dan Saudara ASS (Ahmad Sugeng Santoso) dengan commitment fee sebesar 22 persen, yaitu 2 persen untuk Dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD," tandasnya.
Menurut Setyo, sembilan proyek yang menjadi bagian dari skema suap tersebut mencakup rehabilitasi rumah dinas bupati dan wakil bupati, proyek perbaikan jalan, pembangunan jembatan, serta pembangunan Kantor Dinas PUPR OKU. Proyek-proyek ini kemudian dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang digunakan sebagai cangkang dan berlokasi di Lampung.
Setelah proyek mulai berjalan, para anggota DPRD mulai menagih jatah fee yang telah dijanjikan oleh Kadis PUPR. NOP kemudian menjanjikan pencairan fee tersebut sebelum Lebaran 2025.
Dari hasil penyelidikan KPK, diketahui bahwa pihak swasta MFZ dan ASS menyerahkan uang sebesar Rp2,2 miliar dan Rp1,5 miliar kepada Kepala Dinas PUPR sebagai bagian dari fee yang dijanjikan untuk anggota DPRD. Uang tersebut diduga bersumber dari pencairan proyek yang telah disepakati sebelumnya.
KPK kemudian melakukan penggeledahan di rumah Kepala Dinas PUPR dan berhasil menyita uang sebesar Rp2,6 miliar yang berasal dari transaksi suap tersebut. Setelah penyitaan dilakukan, KPK segera menangkap para tersangka lainnya untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Dalam konferensi pers, Setyo Budiyanto memberikan peringatan keras kepada seluruh kepala daerah dan anggota legislatif yang baru dilantik agar tidak menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi.
"Saya ingin mengingatkan kepada seluruh kepala daerah, legislatif, yang masih baru saja dilantik beberapa waktu lalu," tegas Setyo.
"Kasus ini menjadi pelajaran bahwa penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi tidak hanya merusak integritas pemerintahan, tetapi juga akan berujung pada konsekuensi hukum yang tegas," tandasnya.
Kasus ini masih terus dikembangkan oleh KPK, termasuk mendalami kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain dalam jaringan korupsi proyek infrastruktur di OKU. KPK menegaskan akan terus melakukan pengawasan ketat terhadap proyek-proyek pemerintah daerah guna memastikan tidak ada praktik korupsi yang merugikan negara dan masyarakat. (Tim Liputan).
Editor : Lan