Sponsorship Fashion Show Anak Jadi Modus Dugaan Korupsi
KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan pejabat dari Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Mohamad Haniv, sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi. Penetapan tersangka ini diumumkan pada 12 Februari 2025 setelah penyelidikan yang mengungkap adanya penerimaan uang yang tidak sah terkait dengan jabatannya.
Kasus gratifikasi ini terjadi saat Haniv masih menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, periode 2015 hingga 2018. Ia diduga menyalahgunakan kekuasaan untuk membantu kepentingan pribadi, terutama dalam menunjang bisnis anaknya. Haniv mengakhiri masa jabatannya pada Januari 2019, tetapi investigasi yang dilakukan KPK menemukan bukti kuat bahwa selama masa tugasnya, ia telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan tugas dan kewajibannya.
Dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK pada Selasa, 25 Februari 2025, terungkap bahwa Haniv menggunakan pengaruhnya untuk memperoleh dana sponsorship guna mendukung acara fashion show dari brand milik anaknya.
Wakil Ketua KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa Haniv menerima gratifikasi dengan jumlah total Rp804 juta. Dana ini digunakan untuk membiayai acara fashion show yang diselenggarakan oleh putrinya, Feby Paramita, yang memiliki latar belakang pendidikan mode.
“Anak tersangka HNV memiliki latar belakang pendidikan mode dan sejak tahun 2015 mengelola usaha fashion dengan brand FH Pour Homme by Feby Haniv,” ungkap Asep dalam konferensi pers.
Lebih lanjut, Asep mengungkapkan bahwa selama menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Khusus, Haniv diduga menggunakan kekuasaan dan koneksinya untuk mendukung bisnis anaknya. Haniv tidak hanya meminta sponsor dari perusahaan tertentu, tetapi juga memanfaatkan kedekatannya dengan sejumlah wajib pajak untuk mendapatkan dukungan finansial bagi kegiatan tersebut.
Pada 5 Desember 2016, Haniv diketahui mengirimkan email kepada Yul Dirga, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing 3. Dalam email tersebut, Haniv secara langsung meminta Yul Dirga untuk mencarikan sponsor bagi acara fashion show dari brand milik anaknya.
“Jadi anaknya akan melakukan fashion show dan Haniv meminta sponsorship melalui YD untuk FH Pour Homme by Feby Haniv yang dijadwalkan pada 13 Desember 2016,” terang Asep.
Asep juga menambahkan bahwa target sponsorship yang diincar oleh Haniv adalah perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan dekat dengan Ditjen Pajak Jakarta Khusus.
Dalam proposal yang diajukan untuk acara fashion show tersebut, tercatat bahwa anak Haniv membutuhkan dana sebesar Rp150 juta. Dalam proposal itu juga tercantum nomor rekening BRI serta nomor telepon atas nama Feby Paramita untuk keperluan transfer dana sponsorship.
Namun, dalam perkembangannya, terungkap bahwa transfer dana yang masuk ke rekening Feby jauh lebih besar dari jumlah yang diajukan dalam proposal. Dari investigasi KPK, ditemukan adanya transfer dana senilai Rp300 juta ke rekening Feby Paramita, yang bersumber dari wajib pajak yang berhubungan dengan Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus serta pegawai KPP Penanaman Modal Asing 3.
Selanjutnya, dalam kurun waktu 2016 hingga 2017, Feby Paramita menerima total transfer sebesar Rp387 juta yang berasal dari kantor wajib pajak Kanwil Jakarta Khusus. Sementara itu, dana lain yang berasal dari sumber di luar wajib pajak Kanwil Jakarta Khusus berjumlah Rp417 juta.
“Jika dijumlahkan, total penerimaan untuk fashion show mencapai Rp804 juta. Perusahaan-perusahaan yang memberikan uang tersebut mengaku tidak mendapatkan keuntungan atau benefit apa pun dari pemberian dana tersebut,” jelas Asep.
Selain uang yang diterima untuk kebutuhan acara fashion show anaknya, investigasi KPK juga mengungkapkan adanya penerimaan dana lain yang mencurigakan dari berbagai sumber.
“Selain penerimaan dana untuk sponsorship fashion show, ditemukan pula penerimaan lain dalam bentuk valuta asing dengan jumlah sekitar Rp6.665.006.000,” ungkap Asep.
Lebih lanjut, KPK juga menemukan bahwa Haniv menempatkan dana dalam bentuk deposito di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan total sebesar Rp14.088.835.634. Dengan demikian, total penerimaan yang diduga hasil gratifikasi mencapai sekurang-kurangnya Rp21.560.840.634.
Atas perbuatannya, Haniv diduga telah melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang tersebut mengatur tentang gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas serta kewajibannya.
Kasus ini menambah daftar panjang praktik korupsi yang melibatkan pejabat pajak di Indonesia. Skandal gratifikasi semacam ini mencerminkan betapa rentannya sistem perpajakan terhadap penyalahgunaan wewenang. Publik berharap agar kasus ini ditindaklanjuti dengan serius dan tidak berhenti hanya pada satu tersangka.
Sejumlah pengamat hukum dan ekonomi menilai bahwa kasus ini harus menjadi momentum bagi pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk memperketat pengawasan terhadap pejabat yang memiliki akses terhadap sektor keuangan negara. KPK diharapkan dapat menggali lebih dalam untuk mengungkap pihak-pihak lain yang mungkin terlibat dalam jaringan gratifikasi ini.
Sementara itu, masyarakat luas menuntut agar Haniv dan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini mendapatkan hukuman yang setimpal. Hukuman berat diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pejabat lainnya agar tidak menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi atau keluarga.
Dengan kasus ini, KPK kembali menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi, terutama di sektor yang memiliki dampak luas terhadap perekonomian negara. Ke depan, diharapkan ada regulasi yang lebih ketat untuk mencegah praktik gratifikasi yang sering kali menjadi awal dari korupsi yang lebih besar. (Tim Liputan).
Editor : Lan