Fenomena Pemalakan THR oleh Oknum Ormas: Ancaman bagi Dunia Usaha dan Stabilitas Sosial

Editor: Redaksi author photo

Fenomena Pemalakan THR oleh Oknum Ormas: Ancaman bagi Dunia Usaha dan Stabilitas Sosial

KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - 
Belakangan ini, marak isu terkait organisasi masyarakat (ormas) yang meminta tunjangan hari raya (THR) kepada para pengusaha dan masyarakat. Fenomena ini kian menjadi perhatian publik karena praktik pemalakan berkedok THR yang dilakukan oleh oknum ormas semakin meresahkan.


Dengan berbagai alasan, mulai dari dalih sumbangan sukarela hingga tradisi tahunan, sejumlah pihak memanfaatkan momentum Idulfitri untuk meminta THR secara paksa, baik kepada pelaku usaha maupun warga biasa.


Praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencerminkan permasalahan sosial yang lebih kompleks. Dalam banyak kasus, permintaan THR yang seolah bersifat sukarela sering kali disertai dengan tekanan psikologis dan ancaman terselubung.


Bagi pengusaha, fenomena ini menimbulkan dilema besar. Jika mereka menolak memberikan "sumbangan," maka ada risiko tekanan atau bahkan ancaman bagi kelangsungan usaha mereka. Namun, jika mereka menyerah dan memenuhi permintaan tersebut, maka praktik pemalakan ini akan terus berulang dan semakin mengakar dalam masyarakat.


Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. A.B. Widyanta, S.Sos., M.A., menegaskan bahwa praktik ini tidak dapat dibenarkan, baik dari perspektif sosial maupun hukum.


Menurutnya, meskipun banyak ormas yang bergerak di bidang sosial dan benar-benar memiliki tujuan positif bagi masyarakat, ada pula kelompok yang menyalahgunakan identitas ormas untuk melakukan pemalakan terhadap pengusaha.


"Ini bagian dari praktik pemerasan, baik yang dilakukan secara halus melalui berbagai bentuk tekanan sosial dan permintaan yang tampak bersifat sukarela, maupun secara terang-terangan dengan ancaman langsung yang dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan para pengusaha dalam menjalankan bisnis mereka," ujarnya dalam wawancara yang dimuat di laman resmi UGM pada Kamis, 27 Maret 2025.


Widyanta menegaskan bahwa perusahaan memiliki mekanisme dan aturan tersendiri dalam menjalankan tanggung jawab sosial mereka, seperti program Corporate Social Responsibility (CSR), sehingga tuntutan dari ormas tidak memiliki dasar hukum yang sah.


Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa fenomena ini tidak terlepas dari faktor sosial dan ekonomi yang lebih luas. Banyak anggota ormas berasal dari kelompok masyarakat dengan pekerjaan tidak tetap atau bersifat kasual.


Kesulitan ekonomi membuat mereka mencari berbagai cara untuk mendapatkan pemasukan, termasuk dengan metode yang tidak benar.


"Banyak dari mereka berasal dari kelompok masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi. Ketika anggaran daerah dipotong dan sumber pemasukan banyak yang menghilang, mereka kehilangan pendapatan yang sebelumnya bisa mereka dapatkan dari proyek-proyek pembangunan," jelasnya.


Dalam skala yang lebih luas, ia menyoroti bahwa kesenjangan sosial yang semakin melebar menjadi faktor utama yang mendorong maraknya aksi pemalakan oleh ormas.


Widyanta menilai bahwa kelompok elit oligarki dengan mudahnya memamerkan gaya hidup mewah mereka di berbagai platform media sosial dan ruang publik, sering kali tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkannya.


Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Ketimpangan ekonomi ini, menurutnya, tidak hanya sekadar menimbulkan kecemburuan sosial, tetapi juga membentuk rasa frustrasi kolektif di kalangan masyarakat kelas bawah.


"Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan serta akses terhadap sumber daya ekonomi menimbulkan ketidakpuasan yang pada akhirnya dapat mendorong sebagian kelompok masyarakat melakukan tindakan menyimpang, termasuk pemalakan oleh ormas," ujarnya.


Kondisi ini semakin diperparah ketika ketidakadilan sosial terus berulang, sementara budaya konsumtif semakin dipertontonkan tanpa kendali.


Fenomena pemalakan THR ini tidak hanya berdampak pada individu atau kelompok tertentu, tetapi juga berpotensi merusak iklim investasi dan dunia usaha secara keseluruhan.


Bagi pengusaha, keberlanjutan bisnis mereka bergantung pada kepastian hukum dan keamanan dalam menjalankan usaha. Jika praktik pemalakan seperti ini terus dibiarkan, maka para investor, baik dari dalam maupun luar negeri, akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di daerah yang rawan terjadi pemerasan berkedok ormas.


Selain itu, biaya ekonomi yang semakin tinggi akibat adanya "pungutan liar" oleh oknum ormas juga dapat berdampak pada harga barang dan jasa yang harus ditanggung oleh masyarakat luas.


Menurut Widyanta, jika praktik ini tidak segera ditindak tegas, maka dampaknya bisa sangat luas.


"Jika hukum tidak ditegakkan dengan serius, maka pengusaha akan semakin tertekan, dan pada akhirnya, kondisi ini bisa berpengaruh pada stabilitas ekonomi secara keseluruhan," tegasnya.


Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga bisa menurun jika aparat penegak hukum tidak bertindak tegas terhadap praktik-praktik ilegal ini. Hal ini dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi berkepanjangan serta menumbuhkan sikap apatis terhadap hukum dan peraturan yang ada.


"Ketika masyarakat melihat bahwa hukum tidak berjalan dengan semestinya, mereka bisa kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Ini adalah risiko besar yang harus diwaspadai," tambahnya.


Widyanta menegaskan bahwa tindakan premanisme oleh ormas ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi karena dampaknya yang luas terhadap stabilitas sosial dan dunia usaha.


Menurutnya, pemerintah harus mengambil langkah tegas dengan menertibkan ormas-ormas yang beroperasi di luar batas hukum.


"Pemerintah harus memastikan bahwa ormas yang melakukan tindakan melawan hukum dapat ditindak dengan tegas, tanpa pandang bulu," ujarnya.


Ia juga menekankan bahwa penegakan hukum tidak boleh terhambat oleh kepentingan politik atau hubungan kedekatan kelompok tertentu dengan aparat.


Lebih jauh, Widyanta mengingatkan bahwa meskipun pemalakan oleh ormas merupakan bentuk pemerasan yang nyata, ada permasalahan yang lebih besar dan lebih sistemik yang perlu diperhatikan oleh negara.


"Yang lebih berbahaya adalah ketika para pejabat dan elit politik menciptakan kebijakan yang tidak adil, membiarkan ketimpangan sosial semakin melebar, dan secara terang-terangan merusak tatanan hukum demi kepentingan pribadi serta kelompoknya," pungkasnya.


Jika situasi ini tidak segera ditangani dengan serius, maka bukan hanya para pengusaha yang akan menjadi korban, tetapi masyarakat luas juga akan merasakan dampak negatifnya.


Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan agar praktik pemalakan ini tidak semakin meluas dan mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat. (Tim Liputan).

Editor : Lan

Share:
Komentar

Berita Terkini