Kasus Kekerasan Seksual di UGM: Edy Meiyanto Dicopot, Kampus Perkuat Sistem Pencegahan

Editor: Redaksi author photo

Kasus Kekerasan Seksual di UGM: Edy Meiyanto Dicopot, Kampus Perkuat Sistem Pencegahan

KALBARNEWS.CO.ID (YOGYAKARTA) - 
Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan keseriusan dalam menangani kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan salah satu guru besar senior di lingkungan kampus, yakni Prof. Dr. Edy Meiyanto dari Fakultas Farmasi. Kasus ini menyita perhatian publik karena tidak hanya menyangkut seorang tokoh akademik ternama, tetapi juga karena jumlah korban yang cukup banyak serta latar belakang mereka yang beragam, dari mahasiswa S1 hingga pascasarjana.


Kasus ini pertama kali mencuat ke publik setelah UGM menerima laporan resmi pada awal tahun 2024. Namun, menurut Sekretaris Universitas Gadjah Mada, Andi Sandi, terdapat kemungkinan bahwa tindakan tidak pantas tersebut sudah terjadi jauh sebelum tahun tersebut. 


“Meskipun informasi di luaran itu terjadi sebelum itu. Kejadian-kejadian sebelum laporan itu kami tidak mengetahuinya, artinya di tingkat Satgas kami tidak mengetahuinya karena baru reporting itu di 2024,” ungkap Andi saat memberikan keterangan pers pada Jumat, 4 April 2025.


Sejauh ini, UGM telah melakukan pemeriksaan terhadap sedikitnya 13 orang yang terdiri dari saksi dan korban. Berdasarkan hasil investigasi internal, diketahui bahwa sebagian besar tindakan terjadi di luar kawasan kampus UGM, namun tetap dalam konteks aktivitas akademik. Bentuknya beragam, mulai dari bimbingan skripsi, diskusi lomba, hingga pertemuan tidak resmi yang dibalut dalam kegiatan kemahasiswaan. 


“Ada diskusi, ada juga bimbingan, ada juga pertemuan di luar untuk membahas kegiatan-kegiatan ataupun lomba yang sedang diikuti,” jelas Andi.


Menanggapi laporan tersebut, UGM langsung mengambil tindakan tegas. Edy Meiyanto dinyatakan dibebastugaskan dari seluruh kegiatan tridharma perguruan tinggi sejak pertengahan 2024. Ia juga dicopot dari jabatan struktural di laboratorium dan pusat penelitian tempatnya selama ini berkontribusi. 


“Sudah sejak pelaporan dari fakultas itu sudah dibebastugaskan,” tegas Andi, menunjukkan bahwa UGM tidak menunggu proses hukum rampung untuk mengambil langkah perlindungan awal.


Tindakan yang dilakukan Edy Meiyanto dinyatakan melanggar Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. Berdasarkan hasil penyelidikan, UGM kini menjatuhkan sanksi administratif dengan kategori sedang hingga berat, dengan opsi terberat berupa pemberhentian tetap. 


“Dan keputusan Rektornya itu menyebutkan yang bersangkutan untuk dikenai sanksi sedang sampai berat,” ujar Andi.


Namun demikian, UGM menghadapi keterbatasan kewenangan dalam memberikan sanksi terhadap status Edy sebagai guru besar. Sesuai regulasi yang berlaku, pengangkatan dan pemberhentian guru besar merupakan kewenangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. 


“Harus dipahami status guru besar itu diajukan kepada pemerintah, ya, khususnya kementerian. Jadi SK-nya itu keputusannya adalah Kementerian,” jelas Andi.


Meskipun demikian, Kementerian telah memberikan kewenangan sementara kepada universitas untuk menetapkan sanksi administratif terhadap pelaku. 


“Oleh karena itu, kami setelah waktu liburan Idulfitri ini, kita akan menetapkan keputusan itu,” tambah Andi, menandakan bahwa keputusan final dari pihak kampus akan segera diumumkan dalam waktu dekat.


Di tengah proses administrasi dan hukum yang sedang berjalan, UGM menekankan bahwa perlindungan terhadap korban adalah prioritas utama. Universitas menyediakan berbagai bentuk pendampingan, mulai dari layanan konseling psikologis hingga bantuan hukum dan pendampingan emosional. “Yang utama adalah bagaimana perlindungan terhadap korban dan juga tindak lanjutnya untuk konseling dan juga pendampingan bagi teman-teman korban,” tutur Andi.


Lebih jauh, UGM menekankan bahwa kasus ini harus menjadi titik balik bagi upaya membangun kampus yang lebih aman dan berintegritas. Tidak hanya sanksi terhadap pelaku, universitas juga berkomitmen memperkuat sistem pencegahan melalui edukasi, peningkatan kapasitas satgas, hingga pengawasan terhadap dinamika relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa yang kerap menjadi celah terjadinya kekerasan seksual.


“Yang utama sebetulnya kami mencegah ke depan tidak terjadi lagi,” pungkas Andi, menegaskan bahwa UGM tidak akan berhenti pada penindakan semata, melainkan menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran kolektif dan momentum perbaikan sistemik.


Kasus ini telah membuka mata banyak pihak bahwa kekerasan seksual dapat terjadi bahkan di lingkungan akademik yang dianggap aman dan bermartabat. Ketegasan UGM dalam menangani kasus ini, sekaligus komitmen mereka terhadap pemulihan korban dan pencegahan ke depan, diharapkan menjadi preseden positif bagi institusi pendidikan lainnya di Indonesia. (Tim Liputan).

Editor : Lan

Share:
Komentar

Berita Terkini