Listrik Dari Air Hujan? Kenapa Tidak!
KALBARNEWS.CO.ID (SINGAPURA) - Para ilmuwan dari Universitas Nasional Singapura tengah berupaya menemukan metode baru untuk menghasilkan listrik dari air hujan. Studi mereka telah dipublikasikan dalam jurnal ACS Central Science milik American Chemical Society , demikian dilaporkan Newatlas.com.
Biasanya, pembangkitan listrik dari air dicapai dengan memindahkan sejumlah besar air untuk memutar turbin di pembangkit listrik tenaga air atau melalui gelombang pasang surut. Namun, air yang mengalir di atas permukaan yang menghantarkan listrik juga dapat menghasilkan energi melalui proses yang disebut pemisahan muatan.
“Air yang jatuh melalui tabung vertikal menghasilkan sejumlah besar listrik dengan menggunakan pola aliran air tertentu: aliran sumbat,” kata Siowling Soh, penulis studi baru tersebut. “Pola aliran sumbat ini dapat memungkinkan energi hujan dipanen untuk menghasilkan listrik yang bersih dan terbarukan.”
Para peneliti menciptakan prototipe generator berbasis hujan: sebuah menara yang di atasnya terdapat jarum logam yang memungkinkan tetesan air seukuran hujan menetes ke bawah.
Di bawahnya, mereka menempatkan tabung setinggi 32 cm dengan diameter 2 mm yang terbuat dari polimer konduktif listrik. Tetesan air yang menyerupai tetesan hujan bertabrakan di bagian atas tabung ini dan menjebak gelembung udara, menciptakan apa yang disebut aliran sumbat saat jatuh. Ini membantu memisahkan muatan listrik molekul air saat bergerak menuruni tabung. Elektroda di ujung tabung memanen listrik yang dihasilkan.
Hasilnya, mereka berhasil mengubah sekitar 10% energi dari air terjun menjadi listrik. Pengujian selanjutnya menunjukkan bahwa penggunaan dua tabung menggandakan daya keluaran, yang cukup untuk menyalakan 12 lampu LED secara terus-menerus selama 20 detik.
Generator berbasis hujan eksperimental itu belum terlalu kuat. "Itu bukan Bendungan Hoover," canda wartawan Newatlas.com, merujuk pada salah satu PLTA terbesar di Amerika Serikat dengan kapasitas 2.078,8 MW, yang dibangun pada tahun 1936.
Namun, para peneliti Singapura percaya bahwa setelah beberapa penyempurnaan, sistem mereka dapat menjadi populer sebagai sumber energi lokal: misalnya, dapat dipasang di atap untuk menyediakan energi ramah lingkungan bagi bangunan perkotaan.
Mereka juga mencatat bahwa tetesan air yang melewati prototipe mereka jauh kurang efisien daripada curah hujan alami yang sebenarnya karena tetesan air hujan jatuh dari ketinggian beberapa kilometer, yang berarti bahwa sistem tersebut seharusnya bekerja lebih baik dalam kondisi luar ruangan. (Tim Liputan)
Editor : Aan