Mengapa Salat Idul Fitri di Lapangan? Sejarah dan Dasar Hukumnya

Editor: Redaksi author photo

Mengapa Salat Idul Fitri di Lapangan? Sejarah dan Dasar Hukumnya

KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - 
Ada dua tempat umum yang digunakan umat Muslim di Indonesia untuk melaksanakan salat Idul Fitri dan Idul Adha, yaitu di masjid dan di lapangan terbuka. Meskipun saat ini sudah menjadi kebiasaan yang umum, ada sejarah panjang dan alasan khusus mengapa salat Ied dilakukan di lapangan.


Sejarah pelaksanaan salat Idul Fitri di lapangan di Indonesia bermula pada tahun 1926. Berdasarkan catatan dalam buku Muhammadiyah Gerakan Pembaruan yang ditulis oleh Haedar Nashir dan diterbitkan pada tahun 2010, Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang pertama kali memulai tradisi ini di Indonesia. 


Salat Ied di lapangan pertama kali diselenggarakan di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Keputusan ini berlandaskan hasil Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya yang menegaskan bahwa pelaksanaan salat Ied di lapangan lebih sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW. Keputusan Muhammadiyah ini didasarkan pada keinginan untuk kembali kepada praktik Islam yang lebih otentik, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.


Praktik salat Idul Fitri di lapangan memiliki dasar dalam hadis Nabi Muhammad SAW. Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a berkata: "Rasulullah SAW keluar ke lapangan tempat salat pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, lalu yang pertama yang dilakukannya adalah salat, kemudian berangkat dan berdiri menghadap jamaah, sementara jamaah tetap duduk pada saf masing-masing lalu Rasulullah menyampaikan wejangan, pesan, dan beberapa perintah." (HR al-Bukhari). Hadis ini menjadi rujukan utama Muhammadiyah dalam memutuskan pelaksanaan salat Ied di lapangan. Rasulullah SAW memilih tempat terbuka karena dapat menampung lebih banyak jamaah dan lebih inklusif bagi seluruh masyarakat.


Salah satu alasan Muhammadiyah menerapkan salat Ied di lapangan adalah adanya kritik dari seorang tamu asal India. Dalam buku Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai (2019), disebutkan bahwa pada masa kepemimpinan Kiai Ibrahim (1923–1933), Muhammadiyah menerima kunjungan seorang tamu dari India. 


Dalam pertemuan tersebut, tamu tersebut mempertanyakan mengapa Muhammadiyah—yang telah memposisikan diri sebagai gerakan Tajdid (pembaruan)—masih melaksanakan salat Ied di dalam Masjid Keraton Yogyakarta. Menurutnya, Muhammadiyah seharusnya mengikuti sunnah Rasulullah SAW dengan melaksanakan salat Ied di tanah lapang.


Pada saat itu, Muhammadiyah masih menggunakan Masjid Keraton Yogyakarta sebagai tempat salat Ied, sebagai bentuk penghormatan kepada Sultan Hamengkubuwono VII. Penggunaan masjid ini merupakan bentuk toleransi setelah Muhammadiyah mendapatkan izin dari pihak Keraton untuk menyelenggarakan perayaan hari besar Islam yang berbeda dari tradisi Keraton. Hal ini disebabkan perbedaan sistem penanggalan yang digunakan. 


Muhammadiyah menetapkan hari besar Islam berdasarkan perhitungan hisab dan kalender Hijriah, sementara Keraton Yogyakarta menggunakan kalender Jawa atau Aboge. Kritik dari tamu India tersebut kemudian menjadi bahan diskusi di internal Muhammadiyah. Hingga akhirnya, pada Muktamar Muhammadiyah tahun 1926, diputuskan bahwa salat Idul Fitri sebaiknya dilakukan di lapangan terbuka, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.


Keputusan Muhammadiyah dalam Muktamar 1926 menjadi tonggak sejarah pelaksanaan salat Ied di lapangan di Indonesia. Sejak saat itu, berbagai cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia mulai mengadopsi praktik ini, dan salat Ied di lapangan semakin dikenal luas di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Hingga kini, banyak umat Islam di Indonesia yang lebih memilih melaksanakan salat Idul Fitri dan Idul Adha di lapangan. 


Beberapa alasan utama yang mendukung pelaksanaan salat Ied di lapangan antara lain karena lapangan dapat menampung lebih banyak jamaah dibandingkan masjid, memungkinkan semua kalangan untuk ikut serta dalam ibadah, serta merupakan bentuk nyata dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Selain itu, salat di lapangan juga menghilangkan sekat sosial, sehingga semua jamaah dari berbagai latar belakang berkumpul dalam satu tempat untuk beribadah bersama.


Pelaksanaan salat Idul Fitri di lapangan bukan hanya sekadar tradisi yang berkembang di Indonesia, tetapi juga memiliki dasar historis dan keagamaan yang kuat. Muhammadiyah menjadi pelopor salat Ied di lapangan pada tahun 1926, berdasarkan keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Keputusan ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa beliau lebih memilih melaksanakan salat Ied di lapangan terbuka. Selain itu, kritik dari seorang tamu asal India juga menjadi pemicu bagi Muhammadiyah untuk lebih konsisten menerapkan sunnah Nabi dalam ibadah salat Ied.


Hingga kini, pelaksanaan salat Idul Fitri di lapangan masih terus dilakukan oleh umat Islam di berbagai daerah di Indonesia. Selain menampung lebih banyak jamaah, praktik ini juga menjadi bentuk kepatuhan terhadap sunnah Rasulullah SAW dan mempererat kebersamaan di antara umat Islam.


 Dengan memahami sejarah dan dasar pelaksanaannya, diharapkan umat Islam semakin menyadari pentingnya mengikuti sunnah dalam ibadah dan tetap menjaga kebersamaan dalam merayakan hari kemenangan setelah bulan suci Ramadhan. (Tim Liputan).

Editor : Lan

Share:
Komentar

Berita Terkini