Perang Dagang Memanas, Australia Pilih Independen dari AS-China

Editor: Redaksi author photo

Perang Dagang Memanas, Australia Pilih Independen dari AS-China

KALBARNEWS.CO.ID (AMERIKA SERIKAT) -
 Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas dan menjadi sorotan dunia internasional, khususnya di kalangan pelaku pasar global. Pada Kamis, 10 April 2025, konflik dagang antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini kembali mencuat setelah Presiden AS, Donald Trump, secara resmi mengumumkan kebijakan tarif resiprokal Jilid II dengan pendekatan yang lebih agresif terhadap China.


Dalam pernyataan yang disampaikan pada Rabu, 9 April 2025, Trump mengungkapkan bahwa AS akan menunda penerapan tarif balasan terhadap 75 negara selama 90 hari. Namun, kebijakan penangguhan tersebut secara tegas tidak berlaku untuk China. Sebaliknya, Trump justru menaikkan tarif impor terhadap barang-barang asal China menjadi 125 persen, dari yang sebelumnya berada di angka 104 persen.


Langkah Trump ini dinilai sebagai upaya untuk meningkatkan tekanan terhadap Negeri Tirai Bambu, yang selama ini disebut-sebut memiliki surplus perdagangan tinggi dengan Amerika Serikat. Kebijakan ini memicu kemarahan Beijing dan memperuncing tensi ekonomi antara kedua negara, sehingga memicu gelombang kekhawatiran akan dampaknya terhadap stabilitas perdagangan global.


Menanggapi langkah AS tersebut, China segera mencari dukungan internasional dengan menggandeng sejumlah negara mitra. Salah satu langkah diplomatik yang ditempuh Beijing adalah mengajak Australia untuk bergabung dalam barisan negara-negara yang menolak tarif resiprokal tersebut. China berharap kerja sama strategis dengan Australia dapat memperkuat posisi mereka di kancah perdagangan global sekaligus menekan dominasi ekonomi AS.


Namun, upaya China itu tidak membuahkan hasil. Pemerintah Australia dengan tegas menolak ajakan tersebut. Dalam pernyataan yang disampaikan pada Kamis, 10 April 2025, Wakil Perdana Menteri Australia, Richard Marles, menegaskan bahwa negaranya tidak akan bergandengan tangan dengan China dalam bentuk apapun untuk melawan kebijakan perdagangan Amerika Serikat.


"Kami tidak akan bergandengan tangan dengan China dalam hal persaingan apapun yang tengah berlangsung di dunia," ujar Richard Marles dalam wawancara eksklusif dengan Reuters.


Richard juga menekankan bahwa Australia saat ini tengah fokus pada strategi diversifikasi perdagangan, yakni memperluas jangkauan pasar dan produk ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada satu mitra dagang saja—dalam hal ini, China yang selama ini menjadi mitra dagang terbesar Australia.


Menurut Richard, keputusan Australia ini didasarkan pada kepentingan nasional dan bukan karena tekanan eksternal. Ia mengungkapkan bahwa pemerintah Australia kini sedang memperkuat hubungan dagang dengan berbagai mitra strategis lainnya, termasuk Uni Eropa, Inggris, Indonesia, India, dan kawasan Timur Tengah.


"Kami tidak melakukan hal itu. Apa yang kami lakukan adalah mengejar kepentingan nasional Australia dan mendiversifikasi perdagangan kami di seluruh dunia," tegas Richard.


Pernyataan ini juga merupakan respons langsung terhadap ajakan yang sebelumnya disampaikan oleh Duta Besar China. Dalam ajakan tersebut, China menyerukan kepada negara-negara yang terdampak kebijakan tarif baru AS agar bersatu dan ‘bergandengan tangan’ untuk membentuk blok perdagangan baru yang dapat menghadang dominasi Amerika Serikat.


Namun sikap Australia menunjukkan kehati-hatian sekaligus sinyal bahwa Canberra enggan terjebak dalam dinamika geopolitik antara Washington dan Beijing. Alih-alih berpihak, Australia memilih jalur independen yang dianggap lebih menguntungkan secara jangka panjang dan tidak membahayakan stabilitas hubungan internasionalnya.


Keputusan ini bisa berdampak besar terhadap arah kebijakan perdagangan global ke depan. Banyak pengamat menilai bahwa langkah Australia bisa diikuti oleh negara-negara lain yang juga tengah mempertimbangkan posisi mereka di tengah tarik-ulur antara dua kekuatan ekonomi dunia itu.


Situasi ini masih sangat dinamis, dan dunia kini menanti langkah lanjutan dari kedua negara adidaya tersebut serta reaksi dari komunitas internasional, termasuk negara-negara berkembang yang turut terdampak oleh kebijakan perang dagang ini. (Tim Liputan).

Editor : Lan

Share:
Komentar

Berita Terkini