Pulau Tak Berpenghuni Jadi Target Tarif Trump: Ketika Penguin Jadi “Ancaman Dagang”

Editor: Redaksi author photo

Pulau Tak Berpenghuni Jadi Target Tarif Trump: Ketika Penguin Jadi “Ancaman Dagang”

KALBARNEWS.CO.ID (AUSTRALIA) - 
Kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menuai sorotan tajam setelah langkah terbarunya dalam memperluas tarif perdagangan mencakup wilayah-wilayah paling terpencil dan tidak berpenghuni di dunia—termasuk Pulau Heard dan Kepulauan McDonald, dua pulau antah-berantah yang berada di Samudra Selatan, wilayah eksternal milik Australia.


Pulau Heard dan Kepulauan McDonald secara geografis terletak di wilayah terpencil dekat Antartika dan tidak memiliki penduduk tetap. Satu-satunya penghuni yang teridentifikasi hanyalah koloni penguin dan satwa liar lainnya. Akses menuju pulau ini sangat terbatas, hanya bisa dijangkau melalui pelayaran selama dua minggu dari Perth, Australia Barat. Namun, hal itu tampaknya tidak menyurutkan pemerintahan Trump untuk memasukkan kedua pulau ini dalam daftar negara dan wilayah yang dikenai tarif impor baru oleh Amerika Serikat.


Dalam kebijakan terbaru yang diumumkan Gedung Putih, AS memberlakukan tarif sebesar 10 persen terhadap sejumlah wilayah luar negeri Australia. Meskipun tidak ada bukti aktivitas perdagangan aktif dari Pulau Heard dan Kepulauan McDonald, wilayah ini tetap dicantumkan dalam daftar target. Keputusan ini mengundang keheranan dan kecaman, terutama dari pemerintah Australia.


Kritik dari Australia dan Kebingungan Internasional

Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, mengungkapkan keprihatinannya atas perluasan kebijakan tarif yang terkesan tidak masuk akal ini. Dalam pernyataannya, ia mengatakan, “Tidak ada tempat di Bumi yang aman,” menyoroti betapa luas dan membabi butanya cakupan kebijakan tarif yang diterapkan oleh AS. Pernyataan tersebut menjadi simbol dari frustrasi pemerintah Australia terhadap sikap unilateral dan tidak selektif yang diambil oleh Washington.


Pulau Heard dan Kepulauan McDonald diklasifikasikan sebagai wilayah eksternal Australia yang tidak memiliki pemerintahan lokal, namun tetap berada di bawah yurisdiksi langsung pemerintah federal Australia. Selain kedua pulau itu, wilayah eksternal lain seperti Pulau Christmas, Kepulauan Cocos (Keeling), dan Pulau Norfolk juga terkena imbas dari kebijakan yang sama.


Pulau Norfolk menjadi kasus yang paling menonjol. Meski memiliki populasi hanya sekitar 2.188 jiwa dan tidak diketahui sebagai pusat produksi besar, wilayah ini dikenai tarif tertinggi, yakni 29 persen. Data dari Observatory of Economic Complexity mencatat bahwa pada 2023, wilayah ini sempat mencatat ekspor senilai 655.000 dolar AS ke Amerika, dengan sebagian besar berupa alas kaki dari kulit. Namun, data tersebut dibantah oleh administrator Pulau Norfolk, George Plant.


“Tidak ada ekspor yang diketahui dari Pulau Norfolk ke Amerika Serikat dan tidak ada hambatan perdagangan non-tarif yang kami ketahui atas barang-barang yang masuk ke Pulau Norfolk,” ujar Plant. Hal ini menunjukkan adanya potensi kesalahan data atau kekeliruan administratif dalam penyusunan daftar target tarif.


Data Misterius dan Kejanggalan Statistik

Kejanggalan semakin mencuat saat melihat angka ekspor dari Pulau Heard dan Kepulauan McDonald. Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2022, Amerika Serikat tercatat mengimpor barang senilai 1,4 juta dolar AS dari wilayah ini—angka yang luar biasa besar untuk wilayah yang tidak memiliki infrastruktur, pemukiman, atau aktivitas ekonomi yang terdokumentasi.


Yang lebih membingungkan lagi, mayoritas dari nilai tersebut dikategorikan sebagai barang “mesin dan listrik.” Tidak ada penjelasan yang masuk akal mengenai bagaimana peralatan mesin atau listrik bisa berasal dari wilayah yang tidak memiliki listrik, jalan, atau bahkan pelabuhan permanen. Dalam lima tahun sebelumnya, nilai impor dari wilayah tersebut bahkan hanya berkisar antara 15.000 hingga 325.000 dolar AS. Lonjakan tiba-tiba dan tidak logis ini menimbulkan tanda tanya besar.


Pengamat ekonomi menilai bahwa kemungkinan besar data yang digunakan oleh pemerintah AS tidak diverifikasi dengan cermat, atau bahkan bisa jadi ada kekeliruan dalam pelabelan asal barang dalam sistem bea cukai global.


Strategi Politik atau Kecerobohan Administratif?

Kebijakan ini kemudian dipandang bukan semata sebagai strategi ekonomi, melainkan sebagai bagian dari pendekatan politik Trump yang proteksionis dan nasionalistik. Dengan menyasar hampir semua wilayah yang memiliki status kedaulatan atau yurisdiksi khusus, langkah ini dinilai sebagai cara Trump menunjukkan ketegasan terhadap segala bentuk ketergantungan impor—meskipun dalam praktiknya, beberapa target bahkan tidak layak disebut sebagai entitas dagang.


Kritik datang tidak hanya dari Australia, tetapi juga dari kalangan analis internasional. Mereka menilai bahwa kebijakan ini tidak hanya kontraproduktif, tetapi juga mencederai hubungan diplomatik antarnegara.


“Ini lebih seperti pertunjukan politik daripada kebijakan ekonomi. Menggunakan tarif terhadap wilayah yang hanya dihuni oleh penguin jelas menimbulkan lebih banyak tawa daripada rasa takut di pasar global,” ujar salah satu pakar hubungan internasional dari Universitas Melbourne. 


Antara Absurd dan Realitas Politik Dagang

Kasus Pulau Heard dan Kepulauan McDonald menjadi simbol dari betapa absurditas bisa menyusup ke dalam kebijakan tingkat tinggi dalam sistem perdagangan global. Ia juga menjadi pengingat bahwa dalam iklim politik internasional yang sarat dengan ketegangan dan kalkulasi strategis, realitas di lapangan—bahkan yang sejelas keberadaan penguin dan salju abadi—dapat dikalahkan oleh logika dagang yang kaku dan sistem data yang mungkin usang.


Apa pun motifnya, langkah AS ini menjadi preseden yang menunjukkan bahwa perang dagang kini tak hanya melibatkan negara-negara besar atau komoditas strategis, tapi bahkan dapat menyentuh tempat-tempat yang tak pernah menyangka akan menjadi bagian dari panggung geopolitik global.


Dan pada akhirnya, kebijakan ini bukan hanya menjadi isu tarif semata, tetapi refleksi tentang bagaimana kebijakan ekonomi dunia bisa kehilangan relevansi ketika dipisahkan dari konteks dan akal sehat. (Tim Liputan).

Editor : lan

Share:

Baca Lainnya

Komentar