Tarian THR dan Kemiripannya dengan Hora: Tren Baru yang Menuai Perdebatan

Editor: Redaksi author photo

 

Tarian THR dan Kemiripannya dengan Hora: Tren Baru yang Menuai Perdebatan

KALBARNEWS.CO.ID (JAKARTA) - Lebaran 2025 diwarnai dengan tren unik yang tengah digandrungi masyarakat Indonesia, yaitu tarian THR atau yang juga dikenal sebagai ‘tarian pemanggil THR’.


Tarian ini mendadak viral di berbagai platform media sosial dan banyak ditirukan oleh masyarakat, terutama menjelang Hari Raya Idulfitri. Fenomena ini berkembang pesat berkat banyaknya unggahan video yang menunjukkan orang-orang dari berbagai latar belakang usia menari dengan penuh semangat. Selebriti, influencer, hingga masyarakat umum turut serta dalam tren ini, membuatnya semakin populer.


Gerakan tarian THR cukup sederhana namun menarik perhatian. Tarian ini dimulai dengan langkah kaki ke kanan dan ke kiri, dilanjutkan dengan lompatan kecil ke depan dan ke belakang, serta gerakan kaki yang dilakukan secara serempak. Kesederhanaan gerakan ini menjadi daya tarik tersendiri karena mudah ditiru oleh siapa saja, termasuk anak-anak dan orang dewasa.


Banyak orang yang membagikan aksi joget ini di media sosial karena dianggap menghibur dan menyenangkan. Selain itu, sebagian warganet menganggap tarian ini sebagai bentuk ekspresi kegembiraan menyambut datangnya THR (Tunjangan Hari Raya), yang merupakan salah satu momen yang paling ditunggu menjelang Lebaran. Beberapa pengguna media sosial bahkan menciptakan berbagai variasi dari tarian ini, menambah keseruan tren yang sedang berkembang.


Namun, di balik keseruannya, ternyata tarian THR menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat. Banyak yang menilai bahwa gerakan tarian ini memiliki kemiripan yang sangat kuat dengan Tarian Hora, sebuah tarian tradisional milik bangsa Yahudi. Kesamaan gerakannya memicu berbagai reaksi dari publik, termasuk perdebatan mengenai apakah tarian ini masih sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.


Tarian Hora sendiri merupakan bagian dari tradisi budaya Yahudi yang telah ada sejak lama. Tarian ini berasal dari rakyat Israel dan dikenal sebagai simbol kebahagiaan, persatuan, serta identitas budaya mereka. Hora biasanya ditampilkan dalam formasi melingkar, sering kali diiringi lagu-lagu ikonik yang memiliki makna historis dan spiritual bagi komunitas Yahudi.


Dalam sejarahnya, tarian ini memainkan peran penting dalam membentuk identitas bangsa Yahudi, terutama saat pendirian negara Israel pada tahun 1948. Dikutip dari berbagai sumber, koreografer pertama di Israel menciptakan tarian rakyat dengan menggabungkan berbagai elemen dari tarian Hasid, Balkan, Rusia, Arab, hingga Yaman. Hora pun menjadi bagian dari berbagai perayaan keagamaan Yahudi, termasuk pernikahan, di mana pengantin diangkat di atas kursi sambil diiringi tarian melingkar oleh para tamu.


Kemiripan tarian THR dengan Hora pun mengundang reaksi keras dari sebagian masyarakat. Beberapa pihak menyerukan agar tarian tersebut tidak diikuti, khususnya oleh umat Islam, karena dikhawatirkan bisa menjadi bentuk penjajahan budaya dan akidah secara halus. Kekhawatiran ini berangkat dari pandangan bahwa meniru sesuatu yang tidak dicontohkan Rasulullah bisa menjurus pada penyimpangan.


Hal ini diperkuat oleh sebuah hadits yang berbunyi, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka." (HR. Abu Daud dan Ahmad). Berdasarkan pandangan ini, umat Islam diimbau agar lebih berhati-hati dan selektif dalam mengikuti tren yang sedang viral, terutama jika tren tersebut berasal dari budaya yang memiliki nilai atau simbol tertentu yang bertentangan dengan ajaran Islam.


Di sisi lain, ada pula kelompok masyarakat yang berpendapat bahwa tarian THR hanyalah hiburan semata dan tidak perlu dipermasalahkan. Menurut mereka, tarian ini tidak memiliki unsur ritual atau makna religius tertentu sehingga tidak ada alasan untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang berbahaya bagi akidah. Selain itu, budaya tarian telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai variasinya, sehingga tidak seharusnya ada larangan yang berlebihan.


Beberapa pakar budaya juga menilai bahwa fenomena tarian THR adalah bentuk akulturasi budaya yang terjadi secara alami dalam masyarakat global. Dalam era digital, berbagai budaya dapat saling mempengaruhi dengan cepat, dan sering kali unsur-unsur budaya dari berbagai belahan dunia diadaptasi tanpa bermaksud meniru atau mengambil makna asli dari budaya asalnya. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam sebelum menilai suatu fenomena sebagai ancaman terhadap budaya atau agama tertentu.


Di tengah perdebatan yang berkembang, penting bagi masyarakat untuk tetap bijak dalam menyikapi tren yang sedang viral. Menjaga keseimbangan antara menikmati hiburan dan tetap memegang teguh nilai-nilai budaya serta ajaran agama adalah hal yang perlu diperhatikan. Jika ada kekhawatiran mengenai suatu tren, maka pendekatan yang lebih baik adalah dengan memberikan edukasi dan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat, daripada sekadar melarang atau menyebarkan kecemasan yang tidak berdasar.


Sebagai negara dengan keberagaman budaya yang kaya, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menerima dan mengadaptasi berbagai unsur budaya asing. Namun, dalam setiap adaptasi, masyarakat tetap perlu memilah dan menyesuaikan dengan norma serta nilai-nilai yang berlaku. Dengan begitu, tradisi dan identitas budaya bangsa dapat tetap terjaga tanpa menghalangi kreativitas dan ekspresi masyarakat dalam menikmati hiburan. (Tim Liputan).

Editor : Lan

Share:
Komentar

Berita Terkini